Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi, diantaranya dengan terus memperbaiki aturan hukum tindak pidana korupsi hingga dapat digunakan untuk mengatasi modus operandi yang selalu berkembang.
Berbagai perubahan undang-undang pemberantasan korupsi yang bertujuan untuk menyusun politik hukum secara lebih konkret dan tegas tidak selalu dapat diterapkan secara komprehensif, efisien dan efektif. Sementara persoalan korupsi harus disadari bukan hanya masalah perubahan peraturan perundang-undangan yang aktual semata, namun juga terkait erat dengan sistem penegakan hukum lainnya, yaitu struktur dan kultur hukum yang mendukungnya.
Bettina Yahya, S.H., M.Hum, Hakim Tinggi di Mahkamah Agung RI, mengatakan dalam hal tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi, meski di dalam Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan subjek hukum yang dapat dipidana terkait tindak pidana korupsi yaitu orang perorangan atau korporasi. Seperti bunyi pasal 20 Ayat (1) memberi peluang bagi penuntutan dan penjatuhan hukuman atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, yaitu pengurus saja, korporasinya saja atau kepada pengurus dan korporasinya.
“Fakta menunjukkan hingga saat ini banyak pengurus korporasi cq Perseroan Terbatas yang diajukan ke persidangan dengan tuntutan melakukan tindak pidana korupsi, meski begitu sangat sedikit korporasinya dituntut sebagai pelaku tindak pidana korupsi, seperti skandal kasus Bank Century, kasus Hambalang, kasus impor sapi oleh PT. Indo Guna Utama dan lain-lain,” katanya di Fakultas Hukum UGM, Selasa (30/1) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Mempertahankan disertasi Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan oleh Korporasi Sebagai Upaya Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Betty menyatakan KUHAP yang hanya mengenal subjek hukum orang perorang (pasal 143 Ayat 2 KUHAP) dapat menyulitkan dalam beracara di pengadilan dalam membuat dakwaan, tuntutan dan putusan terhadap terdakwa korporasi, terkait dengan identitas tersangka dan atau terdakwa. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal 20 dirasakan oleh aparat penegak hukum sebagai ketentuan yang kurang jelas sehingga dalam tahap aplikasinya menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda.
Betty menambahkan penetapan korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi sudah cukup lama, namun baru ada 2 perkara yang mana korporasi diperiksa dari awal proses penyidikan penuntutan hingga pemidanaan, yaitu perkara PT. Giri Jaladhi Wana dan PT. Cakrawala Nusadimensi. Selain itu ada perkara PT. Indosat Mega Media yang diputus pemidanaannya tanpa melalui pemeriksaan sebagai tersangka atau terdakwa, hanya sebatas dituntutkan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Mahkamah Agung dinyatakan layak dipidana membayar uang pengganti.
“Terdapat kendala berupa teknis hukum acara pidana dalam hal memproses korporasi sebagai pelaku tindak pidana yang dianggap oleh penegak hukum kurang jelas. Kendala lainnya penegak hukum tidak sepenuhnya mampu membuktikan perbuatan dan kesalahan korporasi atas perbuatan pengurusnya, pembuktiannya cukup rumit dan memerlukan keahlian hubungan fungsional diantara mereka, serta pengaruh karib dianutnya asas ini bersifat delinquere no potest (pasal 59 KUHP) yang menetapkan hanya manusia/ orang yang dapat bertanggung jawab dan dijatuhi pidana,” ungkap Betty didampingi promotor Prof. Hawin, S.H., LL.M., Ph.D dan ko-promotor Prof. Dr. Edward O.S. History, S.H., M.Hum. (Humas UGM/ Agung)