
Tradisi pemberian nama pada anak di Indonesia mengalami perkembangan dinamis dari masa ke masa.
“Dalam seratus tahun terakhir, nama diri berkembang sedemikian rupa mengikuti semangat zaman,” kata Askuri, mahasiswa doktoral prodi Inter-Religious Studies Sekolah Pascasarjana Lintas Displin (SPs LD) UGM, Selasa (29/1) di kampus setempat.
Mempertahankan disertasi terkait politik penamaaan dalam islamisasi di Indonesia, Askuri menyebutkan perkembangan tersebut juga terjadi dalam tradisi penamaan di Jawa. Awalnya, nama diri orang Jawa sangat sederhana yang biasanya terdiri dari satu kata. Namun, kini nama diri anak-anak orang Jawa semakin kompleks dan panjang, lebih sarat makna, dan dengan variasi lingual yang beragam.
Askuri menyebutkan pertumbuhan nama Arab mengalami pertumbuhan pesat dalam perkembangan tradisi penamaan di Jawa. Nama Arab telah lama digunakan orang Jawa dalam penamaan dengan beragam domestikasi, namun dalam 30 tahun terakhir nama-nama Arab lebih terstandardisasi sesuai dengan transliterasi Arab Indonesia. Sementara sebagian nama-nama Arab lainnya lebih terasa modern dan mendunia dengan menggunakan ejaan bahasa Inggris.
“Pertumbuhan nama Arab meningkat pesat sejak akhir abad 20 dan bisa merepresentasikan perubahan umat Islam di Indonesia ,” jelas peneliti perbandingan agama ini.
Sebelum pertengahan abad 20 hanya sedikit orang tua di Jawa yang memperhatikan makna bagi masa depan anak-anaknya. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan literasi orang tua. Umumnya, bagi komunitas santri yang memiliki hubungan patron-client dengan kyai mendatangi tokah agama tersebut untuk meminta nama yang bermakna bagi anak-anak mereka.
Askuri mengatakan penamaan Arab ini menjadi sebuah register keislaman. Nama Arab menjadi kode linguistik yang merepresentasikan perubahan generasi baru muslim yang tumbuh menjadi orang tua.
“Terjadi perubahan pola nama Arab di Jawa di akhir abad 20, salah satunya pertumbuhan purified Arabic names yang mencerminkan pertumbuhan literasi Qurani di kalangan para orang tua,” terangnya.
Kemunculan nama-nama Arab yang belum pernah ada dalam khazanah perbendaharaan nama Arab di Jawa, dikatakan Askuri, juga menyiratkan semakin luasnya sumber-sumber penamaan. Sumber penamaan tidak hanya lagi bersumber pada otoritas tradisional kyai, tetapi juga dari buku, majalah, koran, dan internet.
“Hal ini menunjukkan semangat zaman ketika otoritas tradisional keagamaan semakin bersaing dengan berbagai media baru yang diintroduksi para intelektual muslim baru yang tidak berbasis pesantren maupun kekuatan industri yang tidak berbasis agama,”paparnya. (Humas UGM/Ika)