
Kecamatan Pekalongan Utara mengalami gangguan sistem sosial ekologis. Gangguan tersebut dipicu peralihan penggunaan lahan alamiah menjadi binaan serta kerentanan bentanglahan pesisir akibat keterpaparan banjir dan rob sejak lebih dari 10 tahun terakhir. Masyarakat yang memutuskan untuk tetap tinggal dalam area yang berisiko banjir dan rob memiliki kapasitas yang lebih tinggi dibanding yang memilih pindah. Kapasitas masyarakat menjadi penentu keberhasilan pengurangan kerentanan yang mencakup upaya bertahan hidup (coping), adaptasi, dan ketahanan jangka pendek.
Kejadian yang terjadi di Kecamatan Pekalongan Utara membuat Artiningsih meneliti bagaimana masyarakat terdampak merespons kerentanan akibat banjir dan rob untuk lebih berorientasi pada adaptasi dibandingkan mitigasi. Artinigsih yang merupakan Dosen Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro tersebut menulis sebuah disertasi yang berjudul “Pola Kognisi Spasial Ekologis Rumah Tangga terhadap Kerentanan Wilayah Akibat Banjir dan Rob pada Bentanglahan Pesisir.” Disertasi tersebut berhasil membawa Artinigsih meraih gelar doktor ilmu lingkungan di Universitas Gadjah Mada. Ia secara resmi menyandang gelar doktor setelah dinyatakan lulus pada ujian terbuka doktor pada Rabu (31/1) di Gedung Pascasarjana UGM.
Hasil rekonstruksi kerentanan merepresentasikan pemahaman ontologis dari rumah tangga atas karakteristik banjir dan rob yang distrukturkan Artiningsih dalam sebuah ilustrasi. Menurut Artiningsih, keterpaparan wilayah terhadap banjir dan rob sebagai pola spasial serta temporal wilayah genangan. Ia menambahkan bahwa peralihan penghidupan masyarakat sebagai proses sosio-spasial terjadi antara tahun 1970 hingga 2015.
“Kognisi di atas karakteristik kerentanan wilayah menjadi modal pengetahuan penting dalam pemahaman perubahan lingkungannya sebagai bagian dari sistem sosial ekologikal,” terang Artiningsih.
Lebih lanjut Artinigsih menjelaskan proses kognisi spasial induktif menghasilkan peta keterpaparan wilayah genangan rob dan banjir secara spasial serta temporal ketika gangguan mencakup aset produktif (lahan pertanian) dan non-produktif (rumah dan perabot). Rekonstruksi kognisi spasial masyarakat terhadap terjadinya kerentanan wilayah akibat banjir dan rob pada bentanglahan pesisir di Kota Pekalongan digambarkan sebagai fase historis kerentanan.
“Fase tersebut ditunjukkan oleh akumulasi pengetahuan, pengalaman dan persepsi atas kejadian luar biasa yang dinyatakan dalam keterpaparan genangan, guncangan, dan tekanan yang dihadapi serta kepekaan juga kerugian rumah tangga terdampak,” jelas Artinigsih.
Hasil penelitian Artinigsih juga menunjukkan bahwa pengambilan keputusan masyarakat untuk tetap tinggal dalam bentanglahan pesisir yang memiliki kerentanan akibat hanya banjir dan rob ditentukan atas kemampuan mempertahankan aset. Kemampuan tersebut dapat dilakukan melalui investasi hunian, dan pengambangan jejaring sebagai proses transaksional antara kenyamanan huni dengan upaya bertahan hidup, adaptasi dan ketahanan jangka pendek.
“Pemilihan alternatif penghidupan dilakukan berdasarkan kesiapan peningkatan kapasitas komunitas mencapai ketahanan ekonomi dan sosial melalui peralihan serta diversifikasi penghidupan atau penghasilan berganda,” tukas Artiningsih. (Humas UGM/Catur)