Kebutuhan pangan nasional terus meningkat selaras dengan pertumbuhan penduduk Indonesia. Pemenuhan kebutuhan pangan tersebut selama ini berasal dari produksi dalam negeri dan impor.
Salah satu bahan pangan yang selama ini kontinu diimpor pemerintah adalah beras. Beras merupakan komoditas politik karena kenaikan harga beras akan berpengaruh terhadap kondisi sosial, politik dan ekonomi masyarakat.
Kebijakan instan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi kenaikan harga beras adalah impor. Pusat Data dan Informasi Kementerian Pertanian selama periode 2012 – 2016 menyebut Indonesia mengimpor beras rata-rata 665.626 ton per tahun dan kemudian menjadi 127 ton sampai kuartal III Tahun 2017.
Di awal tahun 2018, pemerintah kembali melakukan impor beras sebanyak 500 ribu ton. Kebijakan ini menuai kontroversi karena dilakukan mendekati panen raya.
Banyak pakar yang menilai impor beras tersebut akan menurunkan harga beras sehingga merugikan petani. Meski begitu, pakar lain berpendapat bahwa impor beras menjadi penting untuk menjaga cadangan pangan nasional.
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian (Faperta) UGM, Dr. Ir. Jangkung Handoyo Mulyo, mengatakan penentuan kebijakan impor beras harus didasarkan pada data yang akurat (evidence based) mengenai jumlah produksi dan konsumsi beras nasional. Setelah itu, baru dilihat stok beras yang ada.
Hanya saja, kata Jangkung, data yang ada ternyata cukup banyak. Ada data berasal dari Kementerian Pertanian, data Badan Pusat Statistik (BPS) dan lain-lain.
Data-data yang disajikan cukup beragam. Bagi pihak-pihak yang dituntut memenuhi target produksi beras nasional maka data yang disajikan surplus (over estimate). Sementara pihak yang menginginkan kran impor dibuka mengungkapkan bila data yang ada minus (under estimate).
“Impor beras bisa menyebabkan inflasi. Oleh karena itu, perlu data tunggal yang valid dan telah disepakati bersama agar keputusan impor tepat,” terang Jangkung dalam Fokus Group Discussion (FGD) bertema ‘Problematika Perberasan Nasional, Kebijakan, Produksi dan Impor’ di Auditorium Prof. Ir. Harjono Danoesastro, Faperta UGM Yogyakarta, Jumat (2/1).
Dalam FGD yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Kedaulatan Pertanian, Faperta UGM, Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian 2010-2014, Ir. Udhoro Kasih Anggoro, mengatakan jika data yang ada bermasalah maka akan sulit dalam merumuskan kebijakan. Apalagi, jika data yang digunakan untuk menentukan kebijakan publik salah maka dampaknya sangat luas dan itu berbahaya.
“Karena itu sangat diperlukan data yang kompak dan bisa membantu pemerintah untuk mengambil keputusan,” katanya.
Anggoro yang kini menjabat Advisor Direksi Salim Group Bidang Pangan Berkelanjutan mendorong sivitas akademika Faperta UGM untuk lebih berperan aktif dan berkontribusi dalam perumusan kebijakan, yaitu dengan menjadi mitra sinergis dan kritis terhadap lembaga yang terkait dengan perumusan kebijakan pertanian, seperti Presiden, Bappenas, Kementan, Kemendag dan Kementerian Keuangan.
Dekan Faperta UGM, Dr. Jamhari, S.P., M.P., menambahkan kenaikan harga beras sangat dipengaruhi oleh ketersediaan beras dan permintaan pasar. Untuk mengetahui kondisi sebenarnya bisa dilihat dari harga beras di pasaran.
“Data harga bisa lebih valid dibanding data produksi dan konsumsi sehingga saat harga beras tinggi sangat mungkin karena stok berasnya memang tidak ada,” katanya. (Humas UGM/ Agung)