
Menulis adalah pekerjaan utama bagi seorang filsuf. Hampir sebagian besar pemikir filsafat sejak zaman Yunani sampai hari ini, dikenal luas oleh pembaca karena mereka memaparkan ide-idenya melalui tulisan. Boleh dikatakan, menulis adalah ruh bagi seorang filsuf. Bila filsuf tidak menulis maka kejeniusan pikiran-pikirannya lebih cepat dilupakan orang.
Menyadari pentingnya menulis maka untuk mengawali perkuliahan Semester Genap Tahun Ajaran 2017/2018, Fakultas Filsafat UGM, Senin (5/2) menyelenggarakan Kuliah Umum bertajuk “Proses Kreatif-Intuitif dalam Dunia Kepenulisan” dengan menghadirkan Penulis Novel Best Seller “Ayat-Ayat Cinta”, Habiburrahman El Shirazy, atau lebih familiar disapa Kang Abik.
Pada acara itu, Kang Abik menyampaikan bahwa setiap penulis memiliki caranya masing-masing dalam melahirkan sebuah tulisan. Kang Abik mengakui bahwa “intuisi” atau dalam kosakata Islam disebut sebagai “firasat” adalah sumber inspirasi terpenting dalam proses kreatif kepenulisannya. Intuisi itu memang tidak dapat diukur, sebab sifatnya sangat subjektif. Namun, menurut Kang Abik, setiap penulis memiliki karakter intuisi yang khas, yang membuat penulis itu menjadi otentik.
Kang Abik juga menjelaskan bahwa seluruh novel-novelnya lahir dari proses aktualisasi kecintaanya pada ilmu pengetahuan dan kehidupan. Inspirasi cinta itu ia peroleh saat menjadi santri di Pondok Pesantren Futuhiyah Mranggen Demak, kemudian belajar syair-syair Islam di MAPK Surakarta, dan kemudian diperdalam melalui pendalaman tradisi literasi Islam di Universitas Al-Azhar Kairo.
“Sejak kecil saya bercita-cita untuk belajar ilmu sedalam-dalamnya. Saya sengaja pergi ke Kairo, karena saya ingin menginjakkan kaki di tempat penulis pujaan saya, Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi, pernah menginjakkan kakinya. Imam Syuthi adalah salah satu penulis idola saya karena ia menulis lebih dari 600 buku. Hidupnya sangat produktif,” kata Kang Abik.
Namun demikian, tak jarang seorang penulis mengalami kebuntuan dalam proses kreatif kepenulisannya. Menurut Kang Abik, hal itu terjadi karena setidaknya tiga hal. Pertama, idenya belum matang. Kedua, ide sudah matang namun penulis miskin kosakata. Ketiga, karena lelah atau bosan.
“Tidak ada yang dapat membantu penulis selain diri sendiri,” tegas Kang Abik.
Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr. Arqom Kuswanjono, dalam sambutannya menyampaikan menulis adalah kunci peradaban. Ia berharap dengan menghadirkan penulis produktif yang sudah diakui publik luas, seperti Kang Abik, akan melahirkan inspirasi bagi mahasiswa Fakultas Filsafat untuk melahirkan karya-karya filsafat yang bermutu tinggi. (Humas UGM/Satria;foto: Humas Fakultas Filsafat)