Reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia perlu dilakukan, khususnya terhadap Buku I KUHP sebagai aturan umum penegakan hukum pidana.
“Reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana materiil di Indonesia dalam RUU KUHP perlu untuk dilakukan di masa yang akan datang,” kata Hakim Pratama Madya Pengadilan Negeri Ketapang, Hendra Kusuma Wardana, S.H., M.H., saat menjalani ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum UGM, Jumat (9/2).
Hendra menyampaikan reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia di masa mendatang menunjukkan sejumlah indikator ke arah suatu peradilan pidana yang akan mengedepankan keseimbangan kepentingan negara, masyarakat, dan korban. Hal ini sebagai model yang mencerminkan nilai-nilai ideologi dan nilai sosiokultural masyarakat Indonesia yang bercirikan serasi, selaras, dan seimbang seperti terkandung dalam Pancasila.
Oleh sebab itu, dikatakan Hendra, perlu dilakukan penambahan pengaturan terhadap beberapa hal. Salah satunya batas penerapan asas keadilan restoratif tidak hanya terbatas pada tindakan pidana ringan, tetapi juga diterapkan pada tindak pidana berat seperti pembunuhan.
“Batasan terhadap penerapan asas keadilan restoratif idealnya dikecualikan terhadap tindak pidana yang sangat membahayakan atau merugikan masyarakat, perekonomian negara,”jelasnya.
Disamping hal tersebut, pengaturan kesepakatan perdamaian secara tertulis sebagai bentuk penyelesaian perkara pidana di luar proses sehingga dapat dirumuskan menjadi dasar hukum gugurnya kewenangan tuntutan penuntut umum.
Hendra mengatakan reformulasi asas keadilan restoratif dalam hukum pidana formal di Indonesia didasarkan pada tujuan mengedepankan keseimbangan kepentingan dalam masyarakat. Dengan demikian, diperlukan pula pengaturan seperti adanya pengakuan dalam konstitusi negara terhadap masyarakat hukum adat dan hukum yang hidup di masyarakat.
Lebih lanjut disampaikan Hendra, pengaturan juga diperlukan mengingat adanya peluang menerapkan diskresi di tingkat penyidikan dan penuntutan. Penerapan asas keadilan restoratif dalam proses penegakan hukum pidana dapat dikonstruksikan dalam bentuk diskresi oleh kepolisian dan atau kejaksaan pada tahap pra persidangan.
Sementara pada tahap persidangan, kata dia, majelis hakim berdasarkan kewenangannya dapat mendamaikan pihak pelaku dan korban. Apabila terjadi perdamaian maka hal tersebut dijadikan pertimbangan dalam hubungannya terhadap ide pengaturan pengampunan oleh hakim.
“Pada tahap pelaksanaan pidana, asas keadilan restoratif dapat diwujudkan dengan pengaturan penerapan syarat mengikuti program rehabilitasi disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan pelaku,”terangnya. (Humas UGM/Ika; foto:Firsto)