
Wakil Direktur Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), Ryan Washburn, mengatakan dua pertiga dari semua penyakit menular pada manusia berasal dari hewan. Patogen yang berpotensi berbahaya ini mestinya harus diidentifikasi dan hewan yang terinfeksi diobati sebelum menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan keamanan kesehatan global.
“Sebagai contoh di Afrika Barat wabah Ebola telah memengaruhi sekitar 30 ribu oran, dan 11 ribu diantaranya mengalami kematian. Hal ini tentu merusak sistem kesehatan, ekonomi dan masyarakat,” katanya di Balai Senat UGM, Selasa (13/2) pada Pre Launching dan Seminar Pedoman Lintas Sektor Menghadapi Wabah Zoonosis dan Penyakit Infeksi Emerging.
Oleh karena itu, perencanaan sebagai kesiagaan dalam menghadapi pandemi menjadi hal yang kompleks dan memerlukan kerangka kerja terintegrasi antara program, proses dan panduan perencanaan. Semua itu dapat ditingkatkan skalanya dan diadaptasi di berbagai sektor baik di tingkat nasional maupun daerah.
Untuk melakukannya maka harus terus diupayakan peningkatan koordinasi lintas sektor yaitu dengan menempatkan lembaga nasional dan internasional dalam pencegahan dan pengendalian zoonosis dan penyakit menular emerging.
“Dengan bekerjasama kita tentu dapat memperkuat sistem kesehatan hewan, satwa liar dan manusia agar dapat melacak, mengendalikan dan merespons kejadian luar biasa dengan lebih baik,” katanya.
Ryan Washburn menilai Indonesia selama dua dekade terakhir telah bekerja keras untuk meningkatkan kesiagaan dan respons terhadap flu burung yang sangat patogen dan penyakit menular lainnya yang muncul dan muncul kembali. Indonesia, dinilianya, telah memainkan peran di tingkat regional dan global dalam mencegah dan mengendalikan penyakit serta memperkuat keamanan kesehatan global.
“Penurunan jumlah kejadian luar biasa dan kasus pada manusia menjadi bukti keberhasilan upaya Indonesia,” katanya.
Untuk memperkuat upaya ini, kata Ryan Washburn, pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) merasa mendapat kehormatan dilibatkan oleh Kemenko PMK dan beberapa pemangku kepentingan dalam menyusun dan mengkaji Buku Pedoman Lintas Sektor. Pedoman ini merupakan instrumen dan rujukan kebijakan untuk melakukan koordinasi kegiatan antara pemangku kepentingan yang relevan dalam kesiagaan dan repons bencana ‘non-alam’, baik di tingkat nasional maupun daerah.
“Selain bermanfaat nyata untuk Indonesia, pedoman ini tentu berpotensi menjadi instrumen praktik terbaik untuk negara lain dalam menghadapi tantangan serupa,” tuturnya.
Staf Ahli Menteri bidang Sustainable Development Goals Kemenko PMK, Ghofur Akbar Dharma Putra, S.E., M.Com., menambahkan masalah zoonosis dan penyakit emerging sesungguhnya tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian PMK, namun permasalahan ini mencakup lintas kementerian. Pedoman yang sudah dihasilkan memang mudah untuk dibicarakan, namun tidak mudah untuk dilakukan.
“Di lapangan koordinasi itu sepertinya menjadi barang yang mahal,” ujar Ghofur Akbar.
Masalah bencana penyakit menular yang dihadapi sangat terkait dengan masalah kesehatan hewan, lingkungan dan manusia. Bencana ini berisiko sangat tinggi dan memungkinkan terjadi perbedaan kebijakan sehingga dibutuhkan panduan.
“Menteri kesehatan memiliki peraturan sendiri, menteri pertanian memiliki sendiri, dan ketika di lapangan terjadi suatu wabah siapa yang menangani dan apa yang ditangani itu yang menjadi pekerjaan rumah, dengan panduan ini diharapkan hal itu bisa diminimalkan,” paparnya.
Menyampaikan sambutan Gubernur DIY, drg. Pembayun. S, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan DIY, mengatakan perilaku manusia di dunia dalam skala luas menyumbang terhadap munculnya zoonosis, termasuk tekanan populasi, deforestrasi, intensifikasi pertanian, perdagangan global hewan liar dan konsumsi daging secara berlebihan. Kondisi ini jika terus terjadi maka dapat menginisiasi munculnya penyakit-penyakit baru yang bersifat zoonosa.
“Para peneliti sekarang mulai melihat dan mengetahui bagaimana kerusakan, seperti pemanasan global, deforestrasi yang meluas dan polusi kimia pada lingkungan laut dapat berdampak negatif terhadap kesehatan dan keseimbangan flora dan fauna, termasuk hewan dan manusia,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Pembayun, untuk menghadapi kompleksitas zoonosis ini diharapkan semua pihak untuk tidak mengabaikan hubungan antara manusia, hewan, peternakan dan satwa liar, lingkungan sosial dan ekologinya. Dengan demikian diperlukan pendekatan terintegratif kesehatan manusia dan hewan dalam konteks sosial dan lingkungan.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng., mengungkapkan untuk mengontrol dan memitigasi ancaman zoonosis maka konsep one health yang menekankan pada sistem thinking, kolaborasi dan trans disiplin menjadi pilihan untuk menanggulangi penyakit tersebut. Meliputi tiga perspektif, yaitu kesehatan lingkungan, kesehatan hewan dan kesehatan manusia maka posisi UGM sangat strategis dan dapat berkontribusi pada isu-isu yang memerlukan trans disiplin ilmu.
“Kita sangat mengapresiasi Kemenko PMK, USAID dan UGM karena mengangkat isu one health, yang memungkinkan UGM bekerja lintas sektoral dalam mengani permasalahan strategis di bidang kesehatan, zoonosis dan emerging diseases karena ini ancaman serius bagi masyarakat kita,” katanya. (Humas UGM/ Agung;foto: Firsto)