
Satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara, Dra. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., masih ingat bahwa di keluarganya hanya ayahnya saja yang suka merokok, sementara ketiga anak lelaki lainnya tidak ada satu pun yang merokok. Saat anak-anak sudah memasuki usia remaja, akhirnya sang ayah memilih berhenti merokok. Pengalaman dari kisah keluarga itulah yang menginspirasi kakak kandung Roy Suryo, Mantan Menpora, ini akhirnya menginisiasi terbentuknya kampung dan rumah bebas asap rokok di Kota Yogyakarta. “Sekarang sudah ada 130-an rumah dan 40 kampung yang mendeklarasikan bebas asap rokok,” kata wanita kelahiran Yogyakarta, 53 tahun silam ini.
Meski program rumah dan kampung bebas asap rokok, diakui Yayi, belum secara signifikan menurunkan jumlah perokok, namun gerakan bebas asap rokok yang dilakukannya sejak 2006 lalu itu setidaknya bisa menurunkan jumlah perokok hingga 3 persen dan 50 persen laki-laki sudah tidak lagi merokok di dalam rumah. “Sekitar 70 persen laki-laki setuju kalau di rumahnya bisa bebas asap rokok,” katanya.
Dikatakan Yayi, tidak mudah baginya mengajak warga untuk mau mengikuti ajakan bebas asap rokok. Yayi bercerita ia harus keluar masuk kampung untuk mengikuti berbagai pertemuan dari tingkat RT, RW, hingga kegiatan Posyandu dan arisan. “Saat pertemuan RT, malah banyak bapak-bapak memohon izin agar diperbolehkan merokok terlebih dahulu sebelum diskusi,” kenangnya.
Namun demikian, kata Yayi, masyarakat kota Yogyakarta diakuinya lebih mudah ketika diajak untuk menerima perubahan. Di setiap pertemuan, Yayi tidak secara frontal mengajak para kepala rumah tangga untuk langsung berhenti merokok. Yayi memulainya dengan menyampaikan informasi tentang rokok dari kandungan hingga dampak kesehatan yang ditimbulkan. “Lalu yang kita minta biasanya mereka tidak merokok lagi di depan anak-anak atau ibu hamil, kemudian tidak lagi merokok di dalam rumah,” katanya.
Apabila terjadi kesepakatan antar warga, kata Yayi, maka di setiap pertemuan biasanya dimulai dengan kebiasan tidak menyediakan asbak rokok di dalam ruangan. Namun, untuk rumah yang sudah mendeklarasikan bebas asap rokok maka mereka menempelkan stempel bebas asap rokok di dinding depan rumah.
Tidak hanya menginisiasi kampung bebas asap rokok, Yayi juga ikut serta dalam mendorong area kampus Fakultas Kedokteran sebagai area bebas asap rokok pada tahun 2004 lalu. “Lalu tahun 2008 disusul deklarasi yang sama di tingkat universitas, bahkan di FK UGM sudah tidak lagi menerima beasiswa dari perusahaan rokok sejak 2006,” katanya.
Kampanye bebas asap rokok sudah didengungkan Yayi sejak 1990 silam, sejak ia pertama kali diangkat sebagai dosen di FK UGM. Minimnya riset soal rokok di Indonesia, kata Yayi, menjadikan rokok menjadi topik risetnya sejak S2 hingga S3. “Dulu kajian rokok sangat minim, saya pilih topik ini, apalagi saat itu saya bisa dikatakan satu-satunya dosen FK yang bukan dokter,” kata lulusan sarjana psikologi UGM ini.
Meski tetap terus menggelorakan kampanye anti rokok, Yayi tetap optimis suatu saat Indoneia akan meniru negara lain di dunia yang meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai dasar pengembangan kebijakan pengendalian tembakau yang telah ditandatangani lebih dari 173 negara. “Pengendalian tembakau kita belum optimal, kita kalah dengan negara tetangga yang sudah meratifikasi. Di tempat kita, iklan rokok masih dipasang, rokok masih dijual bebas hingga batangan, dan harga rokok masih sangat murah,” ujarnya.
Menurutnya, program promosi kesehatan perlu digenjot oleh pemerintah terutama tentang pengendalian rokok, sebab dana JKN tahun 2016 lalu sebesar Rp7,4 triliun dihabiskan untuk diagnosis penyakit kardiovaskuler. “WHO sudah menyebutkan bahwa berbagai penyakit tidak menular saat ini besar pemicunya karena rokok, sudah saatnya tenaga medis membiasakan untuk menanyakan pada pasien apakah sebelumnya mereka memiliki kebiasan merokok,” katanya.
Kegigihan Yayi selama hampir 20 tahun banyak melakukan riset tentang perilaku hidup sehat dan promosi kesehatan tentang dampak bahaya rokok telah membawanya menyandang gelar profesor. Rencananya ia akan dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang kesehatan masyarakat dan keperawatan di FK UGM, Kamis (15/2), di Balai Senat UGM. (Huma UGM/Gusti Grehenson)