Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Prof. Dra. R.A. Yayi Suryo Prabandari, M.Si., Ph.D., menilai pengendalian rokok di Indonesia masih lemah dan belum dapat berdampak pada perilaku merokok.
Padahal, kebiasaan merokok merupakan salah satu faktor risiko dari berbagai Penyakit Tidak Menular (PTM) yang menjadi penyebab utama kematian di Indonesia.
“Pesan layanan masyarakat di media elektronik tentang bahaya rokok sangat jarang, apalagi pesan kesehatan melalui media luar ruang. Eliminasi iklan, promosi, dan sponsor terkait dengan tembakau masih sangat terbatas,” ujarnya saat membacakan pidato pengukuhan guru besar pada Kamis (15/2) di Balai Senat UGM.
Meski ikut merumuskan, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), konvensi pengembangan kebijakan pengendalian tembakau yang telah ditandatangani oleh 173 negara sampai dengan April 2013.
Indonesia, jelasnya, juga merupakan negara yang masih menyiarkan iklan rokok di media massa, termasuk elektronik, media digital, dan luar ruang, sementara lebih dari 140 negara sudah melarang iklan rokok dalam semua bentuk. Harga jual rokok di Indonesia pun lebih murah bila dibandingkan dengan negara tetangga.
“Banyaknya industri rokok di Indonesia membuat kebijakan dan regulasi pengendalian rokok menjadi lambat,” imbuh wanita kelahiran 54 tahun yang lalu ini.
Ia menuturkan pengendalian perilaku merokok di Indonesia perlu dikuatkan mengingat proporsi perokok laki-laki usia muda di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia. Perokok usia sekolah 15-19 tahun meningkat dua kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir dan perokok laki-laki meningkat empat kalinya selama 20 tahun terakhir.
Perilaku merokok bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari persepsi yang rendah terhadap kerugian merokok dan model perokok di sekitarnya, pengaruh keluarga atau teman yang merokok, hingga paparan terhadap iklan rokok dalam berbagai bentuk.
“Berdasar ulasan pada etiologi perilaku merokok, dapat diketahui bahwa penyakit kecanduan merokok disebabkan oleh faktor personal, sosial, dan lingkungan yang luas. Oleh karena itu, pengendalian merokok perlu mempertimbangkan ketiga faktor tersebut,” jelas Yayi.
Pengembangan regulasi di tingkat daerah, ujarnya, masih memerlukan penguatan dan advokasi dari berbagai pihak. Regulasi nasional yang telah ada pun perlu ditindaklanjuti dengan regulasi daerah atau bahkan dengan kesepakatan lokal.
Selain itu, penguatan juga perlu dilakukan dari segi isi pesan, desain, dan penggunaan media terkini karena promosi kesehatan yang masih mengandalkan pemberian informasi konvensional dan media sederhana dinilai kurang efektif dalam meningkatkan pemahaman, apalagi memengaruhi sikap dan perilaku.
“Promosi kesehatan digital merupakan tantangan untuk masa depan karena dengan teknologi informasi masyarakat mendapatkan informasi beragam tentang rokok, tembakau, dan turunannya yang sebagian menyesatkan. Informasi yang benar tentang bahaya atau ancaman rokok perlu diviralkan,” katanya.
Ia mengajak semua pelaku, penggiat, dan pemerhati pengendalian perilaku merokok untuk bersatu dan berjibaku melakukan advokasi yang kuat agar iklan, terutama di media elektronik, digital, dan luar ruang ditiadakan, demikian pula untuk cukai dan harga rokok dapat naik. Pesan dalam iklan dan promosi rokok yang dapat menjerumuskan remaja dalam kebiasaan yang merugikan kesehatan, menurutnya, perlu dieliminasi.
“Tantangan dalam memperjuangkan regulasi dalam promosi kesehatan pengendalian merokok yang betul-betul dapat dilaksanakan memang masih panjang. Melalui semangat seperti pejuang mudah-mudahan terwujud advokasi dan gerakan kecil di masyarakat untuk mewujudkan Indonesia yang sehat dan bebas rokok,”pungkasnya. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)