
Keberadaan Museum Universitas Gadjah Mada akan terus dikembangkan. Setelah diresmikan di tahun 2013, pemerintah berencana akan mengelontorkan dana miliaran rupiah untuk menambah fasilitas museum agar lebih memuat banyak pengunjung.
Museum UGM terletak di Blok D6 dan D7 dengan memanfaatkan salah satu rumah dinas. Bangunan Blok D7 merupakan bangunan yang pernah menjadi tempat tinggal mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama kecil, saat liburan panjang puasa pada 1967 hingga 1971.
Ketua Pengelola Museum UGM, Dr. Mahirta, MA., menjelaskan pihaknya akan mengupayakan pengembangan bangunan museum. Upaya pengembangan dilakukan dengan mengajukan bantuan dana di Ditjen Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud dan telah disetujui untuk revitalisasi tahun ini.
“Kami ajukan sekitar 3 miliar rupiah, sudah disetujui tetapi rinciannya belum tahu,” terangnya di sela-sela konferensi pers di Museum UGM, Jumat (23/2).
Menurut rencana, kata Mahirta, anggaran tersebut untuk penambahan fasilitas terutama di belakang bangunan karena bangunan utama termasuk cagar budaya sehingga tidak akan mungkin dilakukan perubahan.
Selain itu, akan dilakukan pula revitalisasi tata pamer agar semakin lebih menarik minat pengunjung karena jumlah pengunjung rata-rata sehari antara lima sampai 10 orang.
“Hanya di hari-hari tertentu ada kunjungan dalam jumlah banyak terutama anak Taman Kanak-kanak. Kami buka sampai jam 3 sore,” tutur Mahirta.
Terkait koleksi saat ini Museum UGM memiliki sebanyak 327 koleksi. Untuk mewujudkan pengelolaan koleksi yang baik maka pihak Museum UGM melakukan inventarisasi koleksi.
Beberapa koleksi dalam proses pembersihan sebagai salah satu bentuk konservasi. Pada Januari lalu, telah dilakukan konservasi perbaikan tiga buah logo UGM yang saat ini dipamerkan di ruang tengah bangunan D6.
Selanjutnya, juga akan dilakukan restorasi pada lukisan cat minyak Prof. Sardjito dengan melibatkan ahli bidang restorasi lukisan cat minyak di atas kanvas. Beberapa koleksi yang saat ini dipamerkan antara lain benda milik tokoh UGM, seperti Sardjito, Ki Sarmidi Mangunsarkoro, Herman Johannes, Hardjoso Prodjopangarso, Teuku Jacob, Notonagoro, Mubyarto, Koesnadi Hardjasoemantri dan lain-lain.
“Kami tidak bisa menampilkan seluruh yang dimiliki UGM tetapi ada waktu tertentu yang kami pamerkan secara tematik,” kata Mahirta.
Gelar Pahlawan Prof. Sardjito
Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K), Guru Besar UGM, mengungkapkan Universitas Gadjah Mada saat ini tengah mengajukan untuk pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Prof. Sardjito. Upaya UGM tersebut dengan membuat naskah akademik dengan disertai penyelenggaraan seminar regional dan nasional.
Untuk seminar regional telah dilaksanakan pada 23 dan 24 Januari 2018 lalu. Sementara untuk seminar nasional akan dilaksanakan pada 27 Februari 2018 di Jakarta.
“Naskah akademik ini harus disertai penyelenggaraan seminar regional dengan harapan usulan bisa diterima oleh masyarakat DIY dan Jawa Tengah. Sedangkan untuk penyelenggaraan seminar nasional untuk menjaring opini nasional, terkait layak dan tidaknya Prof. Sardjito menjadi pahlawan nasional,” ujar Sutaryo.
Sutaryo sendiri tidak meragukan lagi akan kontribusi seorang Prof. Sardjito. Prof. Sardjito, dinilainya, sebagai pejuang ilmuwan, namun juga ilmuwan yang pejuang.
“Sardjito komplit multi talenta, segi ilmiah luar biasa, dan besok Selasa, 27 Februari ada seminar di Jakarta, semoga ada efek nasionalnya,” ujarnya.
Dalam pandangan Sutaryo, sosok Prof. Sardjito adalah salah satu tokoh pendiri Palang Merah Indonesia dan tokoh farmasi. Ia adalah tokoh pembuat obat tradisional dan modern.
Dalam perjalanan, ia pernah membawa vaksin dari dari Pasteur Bandung ke Klaten dan masuk Yogyakarta. Ia juga pejuang dan di saat masa perjuangan membuat biskuit dan nasi aking.
“Bahkan salah satu pejuang yang kini tinggal di Lempuyangan, Yogyakarta, masih hidup. Menurut pengakuannya kalau sudah makan nasi dan nasi aking maka seharian tidak lapar,” papar Sutaryo.
Lebih lanjut, Sutaryo menjelaskan Prof. Sardjito mendirikan Rumah Sakit Darurat PMI. Melalui rumah sakit yang dibangunnya, ia pun melakukan penyelundupan senjata untuk pejuang-pejuang kemerdekaan.
Sutaryo mengaku pengajuan usulan Prof. Sardjito sebagai pahlawan nasional merupakan proses pengulangan karena di tahun di tahun 2012, UGM sudah membuat naskah akademik, dan melalui prosedur yang sama.
“Hanya di tahun 2012 Presiden memutuskan Pahlawan Nasional itu Bung Karno dan Bung Hatta sehingga Prof. Sardjito dan lainnya belum. Mengapa kita ajukan lagi karena prosedurnya mirip sehinga ini bekerjasama dengan pemerintah daerah kemudian dengan UII karena Prof Sardjito juga pernah menjadi rektor UII 1963-1970,” katanya.
Sutaryo bertutur, sebagai rektor, Prof. Sardjito tidak pernah mendapat gaji atau honor dari UII. Ini sungguh biasa dan kini Universitas Islam Indonesia menjadi besar.
“Mirip kisah dengan Prof Herman Yohanes, saat masih aktif tidak punya rumah, tidak punya mobil, yang pada akhirnya punya mobil karena pemberian dari alumni dan rumah dari pemerintah,” tambahnya. (Humas UGM/ Agung)