
Privatisasi pengelolaan air di Jakarta yang sudah berlangsung selama 20 tahun tidak memberikan pemenuhan secara merata pada masyarakat. Bahkan, air menjadi barang ekonomi yang harganya semakin hari semakin tinggi.
Marwa, S.I.P dalam penelitiannya menyebut harga air di Jakarta secara terus menerus naik mencapai 8.000 per m3 dan ini menjadi harga termahal di Asia Tenggara. Menurutnya, pengelolaan secara privatisasi tidak menunjukkan pada pelayanan, namun cenderung mengarah pada ekonomi.
“Sementara dari kekurangan-kekurangan ini tidak muncul alternatif solusi sehingga di Jakarta akibat kondisi ini memunculkan gerakan perlawanan, diantaranya terbentuknya Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air,” ujar Marwa, di Fisipol UGM, Jumat (9/3) saat berlangsung diskusi bertema Menggugat Rezim Tata Kelola Air di Jakarta: Studi tentang Perlawanan atas Hegemoni Privatisasi Air Global’.
Diskusi digelar Institute of International Studies (IIS) FISIPOL UGM. Tema diskusi merupakan hasil penelitian Marwa selaku peneliti IIS Fisipol UGM terkait kondisi privatisasi air di Jakarta.
Menurut Marwa, penelitian terkait privatisasi air selama ini hanya sampai pada kritik tanpa memberikan solusi. Oleh sebab itu, dalam penelitiannya ia mencoba mengenalkan gerakan Remunicipalisation. Remunicipalisation atau remunisipalisasi merupakan gerakan untuk mengembalikan barang publik yang diprivatisasi menjadi barang publik kembali.
“Cakupannya tidak hanya terkait debat publik dan privat tapi lebih kepada bagaimana membangun rezim tata kelola air yang lebih berkelanjutan dan demokratis,” terang Marwa.
Remunisipalisasi sendiri, kata Marwa, dominan muncul di negara-negara maju. Hal ini dikarenakan negara maju telah memiliki sumber daya manusia dan teknologi serta pemahaman yang cukup mengenai isu tata kelola air. Sebanyak 235 kota di seluruh dunia telah fokus terkait isu tersebut pada 2015.
Marwa menjelaskan di Indonesia, utamanya kota Jakarta, gerakan ini baru beberapa tahun belakangan muncul. Tepatnya tahun 2002 saat terbentuknya Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRUHA). Selanjutnya pada tahun 2011 muncul Koalisi Masyarakat Melawan Swastanisasi Air Jakarta.
Terakhir pada tahun 2015, lanjut Marwa, Mahkamah Agung menyetujui adanya litigasi pembatalan Undang-Undang Air. Sayangnya, keputusan ini dinilai tidak membawa dampak signifikan pada gerakan remunisipalisasi.
“Karena MA tidak secara eksplisit memutuskan kontrak privatisasi akan dibatalkan,” terang Marwa.
Marwa menambahkan kemunculan gerakan remunisipalisasi ini cukup unik. Pasalnya, gerakan anti privatisasi air ini muncul saat ide neoliberal sedang mendominasi wacana di dunia internasional secara keseluruhan.
Tadzkia Nurshafira peneliti lain di IIS Fisipol UGM berharap adanya remunisipalisasi diharapkan hak atas air yang dimiliki semua orang mampu terpenuhi. Meski begitu, gerakan-gerakan ini tidak perlu sampai menghapus atau mengeluarkan swasta dalam sistem regulasi pengelolaan dan penyediaan air.
“Karena bagaimanapun juga air perlu ada yang mengatur. Jadi, selama pemerintah dan swasta bisa bekerja sama untuk penyediaan air yang lebih baik kenapa tidak,” kata Tadzkia. (Humas UGM/ Agung)