Terdapat kesimpangsiuran pandangan para ahli terhadap pengelompokkan dan jumlah bahasa di pulau Sumba dalam hubungannya dengan subkelompok Malayo Polinesi Tengah. Dalam Peta Bahasa Esser (1938) yang diilhami pendapat Yonker (1918), bahasa-bahasa di Nusantara dibedakan atas 17 subkelompok yang salah satunya dinamai subkelompok Bima-Sumba.
Dalam pengelompokkan ini, Bahasa Sumba dimasukkan dalam subkelompok Bima-Sumba. Pandangan Dyen (1965) dikutip Uhlenbeck (1971) berbeda dengan dengan Peta Esser (1938). Dyen memasukkan Bahasa Sumba dalam Untaian Maluku (Mollucan Linkage) yang didalamnya terdapat Bahasa Sika (di Flores). Sementara menurut Esser, bahasa Sika termasuk anggota Subkelompok Bahasa Ambon-Timor.
“Pengelompokkan Dyen tersebut lebih berdasar hasil kajian kuantitatif dengan memanfaatkan 100 Kosakata Dasar Swadesh,†ujar I Gede Budasi, belum lama ini, di Sekolah Pascasarjana UGM.
Drs I Gede Budasi Med Dosen Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja Bali, menyampaikan hal itu saat melaksanakan ujian terbuka program doktor Bidang Ilmu Lingustik. Promovendus mempertahankan desertasi Kekerabatan Bahasa-Bahasa Di Sumba Suatu Kajian Linguistik Historis Komparatif, dengan didampingi promoter Prof Dr I Dewa Putu Wijana SU MA dan ko-promotor Dr Inyo Yos Fernandez serta Prof Dr Aron Meko Mbete.
Kata Gede Budasi, dengan metode kuantitatif yang sama Dyen di tahun 1982 melakukan kaji ulang pengelompokkan bahasa. Dyen dalam penelitian itu memanfaatkan 200 Kosakata Dasar Swadesh sebagai alat jaring kata. Hasilnya, Dyen mendapatkan pandangan yang berbeda dari sebelumnya, terutama terhadap posisi Bahasa Sumba.
“Terlepas dari perhatiannya terhadap Subkelompok Bahasa Flores dan Subkelompok Bahasa Bali (Balic subgrouping), hasil ulang penelitian Dyen memperlihatkan bahwa Bahasa Sumba dan bahasa-bahasa lainnya di NTT tidak sekelompok dengan subkelompok (Flores dan Bali) tersebut yang dipandangnya telah memperlihatkan bukti pengelompokkan kuantitatif yang sudah jelas,†lanjut pria kelahiran Manyali ini.
Promovendus memandang, bahwa jawaban lebih memuaskan terhadap masalah bahasa-bahasa sekerabat di Pulau Sumba masih menyimpan pertanyaan. Oleh karena itu, desertasinya menghasilkan pendapat yang berbeda dengan pendapat para ahli diatas. Demikian juga, jumlah bahasa yang ada di Sumba, yang menghasilkan temuan yang berbeda dengan Dyen (1965, 1982), Wurm dan Shiro Hatori (1983) dan Grimes (1997).
Selain bermanfaat bagi pemetaan bahasa-bahasa di Indonesia yang dilakukan Pemerintah melalui Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Hasil kajian perbandingan bahasa-bahasa kerabat di Pulau Sumba dalam desertasi ini merupakan kontribusi bagi studi bahasa-bahasa di kawasan Austronesia, karena menambah pemahaman tentang studi wilayah Austronesia yang parsial yang meliputi salah satu Subkelompok bahasa di wilayah CMP.
“Pengabaian terhadap pemetaan bahasa dapat menjadi penyulut konflik di perbatasan wilayah NKRI dengan Negara tetangga. Sebab pemetaan bahasa niscaya berkaitan dengan batas etnik dan budaya dari penutur bahasanya,†ujar Gede Budasai, ayah empat anak, yang dinyatakan lulus dengan predikat cum laude, sekaligus meraih gelar doktor dari UGM. (Humas UGM)