
Peningkatan perlindungan terhadap kekayaan intelektual (KI) merupakan salah satu upaya yang diambil pemerintah untuk mendorong gairah atau semangat melakukan aktivitas yang kreatif, inovatif dalam menghasilkan hal-hal yang baru dan bermanfaat. Meski demikian, tanggung jawab perlindungan kekayaan intelektual tidak hanya dipegang oleh pemerintah, tetapi juga oleh lembaga atau institusi terkait, termasuk perguruan tinggi.
“Salah satu lembaga atau institusi yang dapat memiliki fungsi melindungi KI yang berpotensi ekonomi adalah Perguruan Tinggi melalui pembentukan Sentra Kl, sebagai unit kerja yang berfungsi mengelola atau manajemen dan mendayagunakan KI di Perguruan Tinggi,” ujar Direktur Kerja Sama, Alumni, dan Urusan Internasional UGM, Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc., saat memberikan sambutan pada Seminar Sosialisasi Lembaga Manajemen Kolektif Literasi yang diselenggarakan Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Selasa (27/3) di Hotel Tentrem Yogyakarta.
Ia memaparkan pada tahun 2018 tercatat tidak kurang dari 94 Sentra KI berdiri di Indonesia, salah satunya di UGM. Sentra KI di UGM ini berada di bawah Direktorat Penelitian, dan bertugas memberikan layanan pendaftaran KI, sosialisasi KI, pelatihan drafting KI dan pemeliharaan KI bagi sivitas akademika UGM maupun dari luar UGM.
Perlindungan KI yang efektif, ujarnya, menjadi pengaman yang dapat melarang eksploitasi suatu produk, jasa, desain, konsep, solusi atau gagasan oleh pihak lain karena kegagalan melindungi produk yang merupakan aset sangat potensial dalam bisnis menempatkan produk tersebut dalam risiko.
“Permasalahan yang sering muncul di dalam pengembangan ekonomi kreatif antara lain masalah komersialisasi KI melalui perjanjian lisensi, konflik kepentingan antara inventor atau inidividu dengan organisasi atau universitas mengenai kepemilikan aset KI, masalah kapasitas dan kemampuan Perguruan Tinggi dalam melakukan negosiasi, royalty collecting, serta enforcement dari KI yang dikelola,” jelasnya.
Danang menambahkan saat ini ia menyaksikan fenomena inventor, inovator dan pencipta tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan suatu ciptaan atau inovasi, serta tidak memahami pula pentingnya eksistensi inovasi dan ciptaannya sebagai aset bisnis.
Oleh karena itu, sinergi antara Perguruan Tinggi dengan BEKRAF dan Perkumpulan Reproduksi Cipta Indonesia (PRCI) diharapkan dapat meningkatkan peran dan akses sivitas akademika terhadap karya-karya hasil Kekayaan Intelektual yang mampu menjadi pengungkit kegiatan-kegiatan ekonomi kreatif di Indonesia.
Seminar ini sendiri diselenggarakan untuk memberi pemahaman kepada publik di universitas, terkait pentingnya mendorong karya penciptaan intelektual bagi pencerdasan dan kemajuan bangsa di masa depan, hukum perlindungan Hak Cipta, penggunaan, penggandaan, dan sanksi pelanggarannya, serta pentingnya partisipasi publik, terutama kalangan kampus, untuk mendukung keberlangsungan kehidupan penciptaan karya intelektual dari para pengarang dan penerbit.
“Kontribusi ekonomi kreatif terus meningkat dari tahun ke tahun, tapi kontribusi dari subsektor penerbitan masih kecil, yaitu hanya 6,32%. Hal ini mendorong kami untuk turun tangan bagaimana membenahi,” ujar Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi BEKRAF, Ari Juliano Gema. (Humas UGM/Gloria)