Kanker ovarium merupakan salah satu keganasan ginekologi yang sampai saat ini masih menempati urutan ketiga di Indonesia setelah kanker leher rahim dan kanker corpus uteri. Untuk dapat meningkatkan keberlangsungan hidup penderita kanker ovarium, perlu penanganan penderita yang lebih optimal dengan meningkatkan jumlah peminat konsultan ginekologi onkologi dengan distribusi yang lebih merata di Indonesia.
“Sumber daya manusia kita sampai saat ini tercatat dokter konsultan ginekologi onkologi yang aktif ada 97 orang dan sebagian besar berada di pusat pendidikan, sedangkan spesialis obstetri dan ginekologi sampai akhir Februari 2018 tercatat 3.861 orang,” ucap Prof. Dr. Dr. Heru Pradjatmo, M.Kes., Sp.OG(K) dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar FKKMK UGM, Rabu (28/3).
Heru menjelaskan berbagai penelitian telah menunjukkan beberapa faktor risiko kanker ovarium yang meliputi faktor genetik, lingkungan, dan faktor gaya hidup. Meski demikian, secara klinis perkembangan kanker ovarium berbeda dengan kanker leher rahim karena tidak mempunyai gejala klinis awal yang jelas sehingga memang sulit dideteksi secara dini.
Selain karena hampir tidak bergejala, letak ovarium juga sulit dijangkau, terletak dalam panggul antara organ viscera yang tidak dapat dilihat secara langsung sehingga pengambilan sampel dari jaringan ovarium tidak mungkin dilakukan tanpa prosedur yang invasif. Akibatnya, kanker ovarium 65-75% didiagnosis pada stasium lanjut.
“Kanker ovarium jarang ditemukan pada stadium awal karena berkembang secara tersembunyi dan hampir tidak bergejala,” jelasnya.
Karena itu, peneliti di bidang ginekologi onkologi memiliki tantangan untuk menemukan suatu metode pemeriksaan diagnosis awal penderita kanker ovarium yang noninvasif, spesifik, dan sensitif sehingga keberlangsungan hidup penderita dapat ditingkatkan.
Selain itu, dokter spesialis obstetri dan ginekologi sebagai ujung tombak penanganan kanker ginekologi, khususnya kanker ovarium yang mortalitasnya paling tinggi tentunya harus lebih selektif dalam menangani kasus dengan tumor ovarium, yaitu kasus mana yang masih dapat ditangani dengan baik di tempat pelayanannya dan kasus mana yang seharusnya dirujuk di tempat yang lebih memadai.
Hal ini menjadi penting terutama di era BPJS di mana pasien dirujuk dari Pusat Pelayanan Kesehatan tingkat 1(PPK 1) ke PPK 2, tempat biasanya dokter Sp.OG berada.
“Di sinilah Sp.OG berperan penting dapat melakukan seleksi dengan menentukan skoring indeks keganasannya sehingga dapat menentukan kasus mana yang masih dapat ditangani di tempat pelayanannya,” kata Heru.
Sebelum mengakhiri pidatonya, ia juga menyampaikan bahwa peningkatan peran Sp.OG agar lebih memberikan penanganan penderita kanker ovarium dengan optimal dapat dilakukan dengan mengacu pada rekomendasi yang telah disepakati dan meningkatkan sistem rujukan hingga ke PPK 3 untuk kasus yang tidak dapat ditangani. (Humas UGM/Gloria; Foto: Firsto)