
Hari Kesehatan Dunia diperingati tiap 7 April oleh masyarakat di seluruh dunia. Peringatan tersebut dirayakan dengan berbagai kegiatan, seperti kampanye kesehatan dan mengenang para tokoh penting dalam dunia kesehatan. Indonesia memiliki banyak tokoh berjasa dalam bidang kesehatan, salah satu diantaranya adalah Prof. Dr. Mas Sardjito, MD., MPH.
“Tidak hanya berjasa bagi bangsa Indonesia lewat kiprahnya dalam peperangan dengan membantu pengobatan darurat dan pembuatan obat bagi para gerilyawan pada masa penjajahan, berbagai riset serta penelitiannya di bidang kedokteran pun turut andil dalam perkembangan medis di dunia,”papar Guru Besar Fakultas Kedokteran UGM, Prof.Sutaryo., Sabtu (7/4).
Sutaryo menambahkan World Health Organization (WHO) dalam edaran resminya yang diterbitkan pada 1960 memasukkannya dalam daftar panel ahli pada bidang Serology and Laboratory Aspects. Wajar saja, peran Sardjito di bidang serologi tidak bisa dibilang sedikit, khususnya saat ia mendapat amanat pemerintah Indonesia untuk mengambil alih Institut Pasteur yang merupakan bentukan Belanda dan menjadi Kepala Palang Merah Indonesia (PMI) Bandung. Didirikan pada 9 September 1945, PMI tersebut merupakan yang pertama didirikan di Indonesia.
“Di dua tempat itulah, selanjutnya ia meramu berbagai vaksin untuk masayarakat dan tentara Indonesia. Selain itu, ia menjadi pelopor metode transfusi darah dan penyimpanan darah dalam peti es di Indonesia,”urainya.
Sardjito tergolong seorang yang aktif menulis. Tulisannya yang dimuat dalam media massa, buku, dan publikasi ilmiah tidak hanya membahas seputar kesehatan, melainkan juga berbagai topik lainnya, seperti sosial, budaya, hingga pendidikan. Pada periode 1914 – 1941, sebanyak 34 tulisan Sardjito dimuat dalam jurnal medis Belanda, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië. Tulisan pertamanya di jurnal itu bahkan ia tulis saat masih menempuh studi di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia), Batavia (sekarang DKI Jakarta).
Berbagai penyakit Sardjito bahas dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, dari diabetes mellitus, typhus, dysentery, leptospirosis, lepra, hingga penyakit rhinosclerama yang ditelitinya di Minahasa. Namun, hampir separuh tulisan Sardjito pada jurnal terbitan Belanda itu meupakan kajian tentang persoalan lepra dan leptospirosis. Sardjito yang tergabung dalam International Leprosy Association banyak melakukan penyelidikan penyakit lepra di Indonesia pada periode 1932 – 1942. Ia sempat meneliti tentang pemberian iodin Chaulmogras aethylicus dalam terapi lepra.
Tak hanya di bidang kesehatan, Sardjito juga memiliki ketertarikan khusus pada bidang budaya. Sejak tahun 1951 Sardjito dipilih menjadi Ketua Delegasi Indonesia untuk UNESCO. Ia pernah melakukan penelitian tentang pahatan di Candi borobudur. Hasil penelitian tersebut kemudian ia beri judul “The Revival of Sculpture in Indonesia” yang disampaikannya pada Science Congress 1953 di Manila. Filipina. Temuan tersebut turut mempopulerkan Candi Borobudur di kancah dunia. Setelah itu, pemerintah Indonesia pun bertindak cepat mengajukan restorasi Candi Borobudur ke UNESCO pada 1955. Restorasi akhirnya dimulai pada 1973. Puncaknya pada 1991 candi di Magelang itu resmi dinobatkan sebagai warisan dunia. (Humas UGM/Catur)