Penataan kesatuan masyarakat hukum adat yang ditetapkan menjadi desa adat sebagaimana diperintahkan Undang-Undang Desa merupakan wacana aktual dan menarik. Fakta menunjukkan keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat belum mendapat perlindungan yang adil dari negara sehingga sifat pengakuan negara hanya bersifat semu (pseudo recognition).
Dengan fakta tersebut, konsekuensinya masyarakat hukum adat tetap dalam posisi yang lemah. Lahirnya UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa memberi harapan baru untuk penguatan “status hukum” bagi kesatuan masyarakat hukum adat.
“Karenanya penelitian dalam disertasi ini untuk menganalisis penataan kesatuan masyarakat hukum adat menjadi desa adat, khususnya di Provinsi Bali dari perspektif politik hukum,” kata Mulyanto, S.H., M.Hum pada ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Hukum UGM, Selasa (10/4).
Meski memberi harapan, kata Mulyanto, Undang-Undang No.6 Tahun 2014 memiliki kelemahan. Berdasarkan hasil kajian konstruksi politik hukum, UU No.6 Tahun 2014 dinilai mengandung kelemahan konseptual, yakni harus memilih salah satu jenis desa dengan model integrasi (integrated village).
Sementara realitas sosial kehidupan masyarakat Bali lebih menghendaki model koeksistensi (co-existence) tanpa harus menegasikan salah satu desa. Sebab, Desa Adat (Pakraman) dan Desa Dinas dapat hidup berdampingan, saling melengkapi ibarat pasangan suami-istri yang berjalan harmonis.
Untuk itu, menurut Mulyanto, perlu dilakukan perubahan mendasar terhadap politik hukum penataan kesatuan masyarakat hukum adat menjadi desa adat. Dengan mengganti model integrasi (integrated village) menjadi model koeksistensi (co-existence) nantinya Desa dan Desa Adat dapat hidup berdampingan berdasarkan fungsi masing-masing dengan saling melengkapi sesuai amanat Pembukaan UUD 1945.
Sementara itu, penguatan eksistensi masyarakat hukum adat dapat dilakukan melalui legal policy dari negara dengan melakukan penataan kesatuan masyarakat hukum adat menjadi Desa Adat dengan memberikan otonomi komunitas (catur praja). Otonomi tersebut meliputi kewenangan membentuk undang-undang (zelfwetgeving), kewenangan pelaksanaan (zelfluitvoering), kewenangan peradilan (zelfrechtspraak) dan kewenangan melakukan tugas kepolisian (zelfpolitie) dalam Sistem Kesatuan Republik Indonesia.
“Mestinya politik hukum penataan kesatuan masyarakat hukum adat menjadi Desa Adat dengan persyaratan yang realistis sehingga dapat dipenuhi oleh kesatuan masyarakat hukum adat, seperti tidak perlu ada batasan waktu 1 (satu) tahun (einmalig) dan jumlah minimal penduduk karena sejatinya penduduk Desa Adat merupakan penduduk Desa Dinas,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo itu.
Oleh karena itu, dalam disertasinya berjudul Penataan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Menjadi Desa Adat Berdasarkan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 Tentang Desa Di Provinsi Bali, kajian dari Perspektif Politik Hukum, Mulyanto memberi saran implementasi pasal 6 UU No. 6 Tahun 2014 yang mengharuskan memilih salah satu jenis desa, yakni Desa Adat atau Desa Dinas. Dengan paradigma politik hukum model integrasi hendaknya hal tersebut dikonsultasikan ulang sembari meminta arahan pemerintah pusat. Sebab, di Provinsi Bali, misalnya, melakukan perubahan paradigma politik hukum model koeksistensi lebih cocok dengan fakta kemajemukan Desa Adat sehingga memperkuat eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat di Desa Pakraman Bali. (Humas UGM/ Agung)