Kemajuan teknologi memengaruhi setiap lini kehidupan manusia, dan menuntut para pekerja untuk meningkatkan kompetensi mereka dengan pemahaman terhadap penggunaan teknologi yang baik. Seiring dengan pola dunia kerja yang berubah, institusi pendidikan pun harus ikut berubah untuk mempersiapkan anak didik mereka dengan kompetensi yang relevan dengan perkembangan zaman.
“Akibat kemajuan teknologi, memang ada beberapa pekerjaan yang mulai ditinggalkan, tapi banyak pekerjaan baru yang muncul. Kurikulum pendidikan harus memperkenalkan teknologi sedini mungkin agar dihasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia Services Dialogue Council, Devi Ariyani, dalam acara Diskusi Publik dan Diseminasi Sektor Jasa Nasional dan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada Kamis (12/4).
Penggunaan teknologi dalam dunia kerja, ujar Devi, tidak jarang menimbulkan ketakutan bahwa pekerjaan yang selama ini dilakukan manusia akan digantikan oleh robot. Padahal, jika digunakan dengan benar, teknologi justru memungkinkan seseorang meningkatkan kualitas pekerjaannya.
“Teknologi itu seharusnya membuat hidup kita menjadi lebih baik, bukan menyulitkan,” imbuhnya.
Dalam diskusi ini, 3 orang pembicara memberikan pemaparan terkait penguatan sektor jasa di Indonesia serta MEA, sekaligus memberikan pemahaman dan sosialisasi mengenai pentingnya dua hal ini dalam mewujudkan ASEAN 2025.
Kegiatan yang diselenggarakan atas kerja sama antara ASEAN Studies Center (ASC) UGM bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Perekonomian Republik Indonesia (Kemenko Perekonomian RI) dan Indonesia Services Dialogue Council ini mengambil tema Toward Resilience and Innovative Indonesia’s Services Sector in the ASEAN Economic Community.
Terkait isu ini, Devi memaparkan bagaimana sektor jasa berkembang sangat pesat di Indonesia terutama karena kemajuan teknologi yang juga pesat. Dengan 88,1 juta pengguna aktif internet serta peningkatan internet mencapai 58% setiap tahunnya, Indonesia menjadi pasar yang sangat potensial bagi perusahaan penyedia jasa yang berbasis teknologi digital, mulai dari jasa transportasi, akomodasi, pencarian kerja, hingga layanan medis. Dengan potensi yang demikian besar, ia menganggap bahwa seharusnya lebih banyak warga Indonesia bisa terjun ke sektor tersebut sebagai pengusaha atau pekerja, bukan hanya sebagai konsumen.
“Seharusnya perusahaan, seperti Gojek, Bukalapak, dan yang lainnya, tidak perlu mencari pegawai dari luar negeri, jika dari kita banyak pekerja-pekerja yang mumpuni di bidang teknologi,” kata Devi.
Pendapat mengenai signifikansi peran pendidikan Indonesia dalam mempersiapkan SDM yang unggul di bidang teknologi juga disampaikan oleh Guru Besar Ekonomi UGM, Prof. Catur Sugiyanto. Sebagai salah satu pendiri, pemimpin, sekaligus negara terbesar di ASEAN, Indonesia diharapkan dapat berperan besar dalam mewujudkan visi MEA 2025. Di saat yang sama, Indonesia juga harus mempersiapkan kualitas SDM yang baik agar dapat mengambil manfaat dari MEA secara maksimal.
“Kalau melihat dari daya saing, Singapura memang masih lebih unggul. Keunggulan kita terletak dari jumlah SDM, khususnya karena kita saat ini mengalami bonus demografi. Ini yang harus kita kerjakan, bagaimana mendorong SDM kita untuk bisa lebih bersaing,” ujarnya.
Dalam kesempatan ini, Catur membawakan materi terkait peran strategis akademisi dalam meningkatkan literasi sektor jasa dan posisi Indonesia dalam mewujudkan Visi MEA 2025. Dalam konteks yang sama, diskusi ini juga dilakukan untuk memperkaya data dan literatur akademis terkait sektor jasa khususnya kaitannya dengan MEA. Selain kedua pembicara tersebut, hadir pula Deputi Bidang Kerja Sama Internasional, Kementerian Perekonomian Republik Indonesia, Dr. Rizal Affandi Lukman, yang membawakan materi berjudul “Menuju Visi MEA 2025; Perkembangan, Peluang, dan Tantangan.” (Humas UGM/Gloria)