
Setidaknya dalam satu dekade terakhir istilah “the South” atau “the Global South” yang diterjemahkan “Selatan”, semakin sering dipergunakan dalam analisis maupun praktek politik global. Meski tidak sepenuhnya menggantikan istilah-istilah terdahulu seperti “negara berkembang” (developing countries), “Dunia Ketiga” (Third World), “negara miskin” (poor countries) atau “negara kurang berkembang” (less developed countries), istilah Selatan perlahan meraih posisi yang lebih dominan.
Rizky Alif Alvian, S.I.P, peneliti dari Institute of Interational Studies (IIS), Fisipol UGM, melalui kajiannya mengatakan makna Selatan telah mengalami kebaruan analitik. Istilah Selatan telah ditafsirkan setidaknya melalui dua teknik berbeda. Teknik pertama melekatkan Selatan sebagai negara berkembang, dan teknik kedua memahaminya sebagai gerakan global.
Meski begitu, keduanya memiliki titik temu, yaitu sama-sama mengatributkan marjinalitas sebagai salah sartu karakter utama aktor Selatan. Sementara, aktor-aktor dipertemukan oleh ideologi yang menekankan kesetaraan dan solidaritas. Dalam lanskap seperti ini, arus penafsiran yang memotret Selatan sebagai gerakan global menyimpan sejumlah kebaruan menarik.
“Dengan ini maka Selatan tidak lagi dipandang secara geografis ia berada di selatan ekuator, namun negara selatan bisa juga ditemui di belahan utara. Kemalangan akibat tata ekonomi-politik global di berbagai belahan bumi merubah cara pandang itu,” katanya, di Fisipol UGM, Jumat (13/4) saat berlangsung diskusi bulanan IIS bertema “Mempelajari Selatan: Konsep dan Perdebatan”.
Menurut Rizky Aliv, Selatan bisa diperlakukan sebagai suatu artikulasi politik yang spesifik dalam politik global, yang dicirikan dengan penekanan kuat terhadap ide kesetaraan dan solidaritas. Sebagai artikulasi politik yang khas maka kehadiran dan ketidakhadiran Selatan akan terlihat pada klaim-klaim terkait soal kesetaraan dan solidaritas dalam situasi global yang spesifik.
“Karenanya aktor yang menyuarakan tidak harus tetap, ia bisa negara pada suatu ketika, namun bisa pula LSM-LSM pada momen yang lain atau bahkan organisasi-organisasi internasional yang lain,” ujarnya.
Pandangan sama disampaikan peneliti lain dari IIS, Fisipol UGM, Husna Yuni Wulansari. Titik temu diantara kedua interpretasi atas Selatan terletak pada sensitivitasnya terhadap problem ketimpangan global. Sensitivitas ini tampil setidaknya diantaranya terkait konsep Selatan yang berbicara tentang aktor-aktor yang mengalami dampak negatif ketimpangan global.
Sementara itu, Prof. Dr. Mochtar Masoed sebagai pembahas kajian penelitian ini menyatakan untuk menyempurnakan kajian maka perlu kiranya mempertimbangkan perpektif sosiologis supaya dinamikanya lebih nampak. Karena itu, agar tidak bicara konsep Selatan diawang-awang maka perlu belajar basis sejarah sosiologisnya dan sejarah politiknya.
“Penting membaca sejarah diplomasi, bagaimana orang-orang yang dulu disebut-sebut, lalu menyebut dirinya sendiri, lalu komprominya sekarang. Karena keperluan administrasi itu bisa sangat dinamik. Saat itu, di Bank Dunia itu tiba-tiba muncul klasifikasi administrasi menyebut diri mereka ini tidak kaya tapi kurang, atau tidak maju tapi kaya. Ada kategori itu, negeri dengan banyak minyak, tapi sosialnya tidak bagus,” tuturnya. (Humas UGM/ Agung).