Sebelum Indonesia merdeka, sebenarnya semua daerah di Nusantara berasal dari berbagai kerajaan dan masyarakat etnik. Kemudian lahir kesadaran politik dan memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan sejak itu kita tinggalkan baju identitas etnik, menjadi satu bangsa Indonesia. Setelah itu masing-masing dari kita membawa budaya lokalnya sehingga budaya kita seperti mozaik.
Demikian disampaikan Sri Sultan Hamengkubuwono X saat menyampaikan orasi ilmiah dihadapan mahasiswa baru UGM tahun akademik 2007/2008, hari Senin (20/8) di Balairung UGM. Dalam kesempatan tersebut, disampaikan orasi dalam format Dialog Budaya: Merajut Serat-Serat Budaya Sebagai Perekat Keindonesiaan.
Orasi Ilmiah diawali pertunjukan tari Golek Minak Putri oleh UKM Swagayu Gama Gaya Yogya. Dalam tari itu ditampilkan dua tokoh yaitu Rengganis dan Widaningsih, yang diperankan Saras Setiati (FIB) dan Sadwika Rahapsari (F. Psikologi).
Kata Sultan, sejarah memberikan pelajaran berharga, bahwa hidup dalam multikulturalisme yang penuh toleran dan saling menghargai dapat menjadi sumber kemajuan. “Di Spanyol Andalusia adalah simbol kerukunan hidup antara Yahudi, Nasrani dan Islam. Saat itu semua orang berbeda suku dan agama bias hidup bebas. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan berkembang maju, karena semua saling belajar dari kebudayaan orang lain,†ujar Sri Sultan.
Menurutnya, berbagai penemuan baru didapatkan dari kerja bersama ahli fisika Islam, ahli matematika Yahudi dan ahli filsafat Kristen. Banyak masterpiece seni diproduksi dari perpaduan kebudayaan ketiga agama.
“Hal yang sama juga pernah berlangsung di India, di zaman Moghul Empire. Akibat kerukunan hidup, hasilnya adalah produksi seni dan budaya, serta Taj Mahal yang menjadi salah satu istana terindah di dunia. India saat itu juga menjadi pusat perkembangan peradaban yang tinggi. Keberadaan Prambanan diantara candi-candi Budha, misalnya adalah koeksistensi agama Hindu dan Budha,†tambah Sultan.
Ketika semua merayakan perbedaan dari suku, bahasa dan agama sebagai sesuatu yang baik bagi kehidupan, hal itu akan menjadi sumber kehidupan. Tetapi sebaliknya, ketika permusuhan yang dikembangkan hasilnya adalah kematian dan peperangan.
Lagi menurut Sultan, kemajemukan adalah salah satu alasan dari sejarah kemajuan beberapa negara besar sekarang, termasuk Amerika dan Eropa. Sejarah menunjukkan, proses integrasi berbagai budaya dan bangsa adalah keniscayaan dalam sejarah Nusantara, bahwa mereka bisa hidup bertetangga dan saling menghormati.
“Setiap budaya punya sisi baik dan buruk. Memadukan yang baik, menjadikannya sintesis baru merupakan cara bijak, daripada menolaknya semena-mena. Terhadap budaya orang dan diri sendiri, filosofi yang baik adalah tidak merasa inferior, tetapi juga tidak merasa superior dengan budaya sendiri. Beranilah belajar dari budaya orang lain dan budaya sendiri. Filosofi ini penting bagi masa depan kebudayaan Indonesia di dunia yang global yang multikultural ini. Kita bisa belajar banyak hal positif dari keberagaman manusia, agama,dan suku bangsa,†tandas Sri Sultan.
Tampak hadir dan mendampingi Rektor UGM Prof Ir Sudjarwadi MEng PhD, Sekretaris MWA Dr Ir Ali Wibowo MSc, Asisten Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Edy OS Hiariej SH MHum, Asisten wakil Rektor Bidang Kerjasama Dr Bambang Purwono, Sekretaris Eksekutif Supra Wimbarti PhD, Direktur Akademik Dr Budi Prasetyo Widyobroto DEA DESS, dan Kepala Bidang HMK Drs Suryo Baskoro MS. (Humas UGM).