Insidensi terhadap kanker rektum atau karsinoma rekti cukup tinggi. Di Amerika, karsinoma kolorektal merupakan keganasan nomor dua menyerang pada laki-laki dan ketiga pada perempuan. Data Laboratorium Patologi Anatomi (PA) menunjukkan, di Yogyakarta kanker rektum atau karsinoma rekti pada wanita menduduki peringkat kelima setelah karsinoma cervix uteri, karsinoma mamma, karsinoma kulit dan karsinoma ovarium, sedangkan pada laki-laki menduduki peringkat ketiga setelah karsinoma dan nasofarynx.
“Disamping itu, karsinoma rekti dalam penangananannya lebih sulit oleh karena berada di dalam rongga panggul yang relatif kecil, dan besar kemungkin menghadapi cacad fisik yang berupa stoma (dubur buatan), sedangkan karsinoma kolon atau usus yang lain kemungkinan pembuatan stoma sangat kecil,” ungkap Prof dr Marijata SpB KBD, di Balai Senat UGM, Rabu, (21/8).
Dirinya menyatakan hal itu, saat dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Kedokteran UGM. Dosen Ilmu Bedah UGM ini, mengucap pidato bertajuk “Kanker Rektum Pada Lansia Peranan Bedah Dalam Pencegahan Dan Penyembuhan”.
Kata Marijata, penanganan holistik karsinoma rekti meliputi penanganan sebelum terjadi, yaitu usaha-usaha untuk mencegah timbulnya karsinoma rekti, dan penanganan setelah terjadi. Dari penanganan holistik ini, ilmu bedah dimungkinkan berperan dalam usaha pencegahan timbulnya karsinoma rekti.
Menurut suami Hj Ning Purwantini, penanganan karsinoma rekti disamping operasi, yang tidak kalah penting melakukan radioterapi dan khemoterapi. Radiasi dapat dilakukan sebelum operasi (neoajuvan radioterapi), setelah operasi (ajuvan radioterapi), sebelum dan sesudah operasi (sandwich radioterapi), atau apabila tumornya sudah dapat diangkat.
“Khemoterapi juga dapat diberikan sebelum operasi (neo ajuvan khemoterapi), sesudah operasi (ajuvan khemoterapi) atau apabila tumornya sudah tidak dapat diangkat dan sudah metastasis ke banyak tempat,” ujar ayah tiga anak ini, Romi Mario Prihananto ST MM, dr Isnatianing Palupi dan Riza Mario Fritrada.
Selain itu, katanya, sering pula diberikan terapi kombinasi, yaitu terapi tambahan berupa khemoradiasi, terdiri dari khemoradiasi ajuvan, neo ajuvan, dan terapi utama bila tumornya sudah tidak dapat diangkat.
“Radiasi dan khemoterapi ajuvan tidak perlu diberikan pada karsinoma rekti yang masih stadium Duke’s A, ia boleh diberikan hanya pada stadium Duke’s B1, dan pada stadium lanjut,” tandas pria kelahiran Surakarta 27 Agustus 1948 ini.
Di bagian akhir pidatonya, salah satu Anggota Penguji Nasional Ilmu Bedah ini mengungkapkan, bahwa penanganan karsinoma rekti atau tumor-tumor ganas lain sebaiknya dilakukan secara interdisipliner. Sebagaimana di RS Dr Sardjito Yogyakarta, terdapat Tim Kanker yang beranggotakan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu bedah.
“Dan legalitas keputusan tertinggi dalam penanganan tumor ganas termasuk karsinoma rekti, diambil melalui rapat pertemuan tim ini,” tukas Wakil Ketua komite Medik RS Dr Sardjito tahun 2003 – 2005 ini. (Humas UGM).