
Momentum pertemuan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-In dan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-Un di Balai Perdamaian Antar-Korea, Panmunjom menjadi sorotan dunia. Pasalnya, kedua negara yang telah lama terlibat konflik menyepakati Deklarasi Panmunjom yang berisi beberapa poin penting. Salah satu poin penting dalam deklarasi tersebut adalah komitmen kedua belah pihak mengakhiri perang Korea pada akhir tahun ini. Tidak hanya itu, poin penting lainnya yang menjadi perhatian dunia adalah kedua belah pihak sepakat untuk melakukan denuklirisasi Semenanjung Korea. Sebagai respons terhadap deklarasi tersebut, Institute of International Studies (IIS) Departemen Hubungan Internasional, UGM menyelenggarakan diskusi bertajuk “KTT Antar-Korea: Upaya Membangun Perdamaian dan Denuklirisasi Semenanjung Korea” pada Kamis (3/5) di Ruang Rapat IIS, UGM.
Beberapa pembicara ahli dihadirkan dalam diskusi, di antaranya Dr. Nur Rachmat Yuliantoro, M.A. (Kepala Departemen Ilmu Hubungan Interasional UGM), Dra. Siti Daulah Khoiriati, M.A. (Pakar Kajian Asia Timur dan Jepang), dan Yunizar Adiputera, M.A (Pakar Kajian Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata Nuklir). Pada kesempatan itu, Rachmat menyoroti fenomena apa yang menyebabkan pemerintahan Korea Utara menjadi lunak serta mau bertemu dan menyepakati deklarasi damai. Pasalnya, jika melihat satu tahun belakang Korea Utara terbilang gencar menebar ancaman dan melakukan uji senjata nuklir.
Rachmat berasumsi jika salah satu sebab kenapa Korea Utara mau menyatakan deklarasi damai dengan Korea Selatan ada kaitannya dengan tekanan ekonomi yang menimpa negara yang dipimpin Kim Jong-Un tersebut. Sanksi ekonomi yang diterima Korea Utara dari berbagai negara dunia hingga PBB membuat mereka mau tak mau melakukan upaya diplomasi. Sanksi ekonomi yang dimaksud Rachmat beragam, mulai dari pemblokiran suatu negara terhadap segala bentuk ekspor impor dari dan ke Korea Utara hingga pelarangan warga negara oleh pemerintahan negara tertentu untuk berhubungan langsung dalam bidang komersial dengan Korea Utara.
“Ada beberapa sanksi ekonomi dari berbagai negara di dunia yang diterima Korea Utara. Hal tersebut tentu berdampak langsung kepada perekonomian Korea Utara,” terang Rachmat.
Meski demikian, Rachmat tidak menampik ada kemungkinan lain penyebab pemerintahan Korea Utara gencar melakukan diplomasi.
Di sisi lain, Yunizar berpendapat meski telah menyatakan deklarasi damai, namun perdamaian dan denuklirisasi dirasa masih jauh. Pendapat Yunizar tersebut didasari atas tidak tercapainya perjanjian serupa yang pernah terjadi pada 2000 dan 2007. Pada tahun-tahun tersebut kedua belah pihak juga menyepakati perdamaian , namun belum terealisasi hingga sekarang dan sempat memanas satu tahun belakangan.
“Meski begitu, deklarasi ini patut diapresiasi, iktikad dari kedua belah pihak untuk berdamai pantas ditunggu kelanjutannya,” imbuh Yunizar. (Humas UGM/Catur)