Terdapat dua hal bertentangan pada peristiwa antara tahun 1945 – 1949. Di satu sisi, dalam mempertahankan kemerdekaannya Republik Indonesia (RI) lebih menempuh jalur perjuangan diplomasi baik dengan Belanda, Negara-negara lain dan anggota masyarakat internasional. Di sisi lain, Kerajaan Belanda masih memiliki kemauan untuk menguasai Hindia Belanda.
“Kerajaan Belanda menolak memberi pengakuan terhadap RI. Justru pihak Belanda sendiri melakukan upaya menghapus eksistensi RI,†ujar Agustinus Supriyanto SH MSi saat mempertahankan desertasi “Pengakuan Kerajaan Belanda Dalam Perjuangan Diplomasi Republik Indonesia Tahun 1945-1949â€.
Dirinya menyampaikan hal itu, saat melakukan ujian terbuka Program Doktor Bidang Ilmu Hukum, hari Kamis (24/8) di Sekolah Pascasarjana UGM. Promovendus didampingi promotor Prof Dr F Sugeng Istanto SH dan ko-promotor Prof Dr Mochtar Mas’oed serta Prof Dr Soemarjo Soerjokusumo SH.
Usaha-usaha perjuangan diplomasi pemerintah RI, kata dosen Fakultas Hukum UGM ini, diwujudkan dalam tiga hal. Pertama, perjuangan diplomasi dilakukan melalui para golongan intelektual Indonesia yang sedang dan telah menamatkan pendidikan di luar negeri, khususnya di Timur Tengah. Kedua, perjuangan diplomasi melalui PBB, yang terbentuk pada tanggal 24 Oktober 1945. Namun, perjuangan ini tidak segera terlaksana karena PBB baru saja mulai bekerja. Ketiga, perjuangan pemerintah RI yang dianggap efektif adalah dengan melalui pendekatan-pendekatan bilateral seperti Mesir, Saudi Arabia dan Syria.
Desertasi salah anggota Team Auditor Akademik FH UGM ini, sesungguhnya mengkaji pertentangan antara perjuangan diplomasi RI mempertahankan kemerdekaannya dengan perjuangan hak sejarah Kerajaan Belanda atas bekas wilayah jajahannya di Hindia Belanda. Bahwa perjuangan RI dilakukan dengan diplomasi damai, sementara perjuangan Kerajaan Belanda dilakukan dengan kekerasan.
“Perjuangan melalui diplomasi damai dengan menggunakan sarana hukum internasional dinilai lebih berhasil daripada perjuangan dengan menggunakan senjata,†tukas dosen Hukum Internasional UGM ini.
Oleh karena itu, dalam salah satu kesimpulannya dikatakan, ketika Hatta menjadi Perdana Menteri RIS pada tanggal 20 September 1949, salah satu program kabinetnya adalah berusaha supaya RIS menjadi anggota PBB. Namun, mengingat komposisi keanggotaan Dewan Keamanan PBB saat itu tidak memungkinkan, khususnya ngara-negara besar sekutu, seperti Inggris, maka rekomendasi untuk Indonesia ditolak mlalui veto. Perlu diingat bahwa Inggris terlibat dalam proses pengembalian Kerajaan Belanda untuk menduduki kembali Hindia Belanda. Dengan demikian perjuangan Indonesia melalui cara ini ditangguhkan sampai pada waktu yang tepat.
Setelah kedaulatan diserahkan 27 Desember 1949, Pemerintah Indonesia segera mengambil kebijakan untuk menyampaikan permohonan kepada Majelis Umum PBB agar diterima sebagai anggota baru. Hasilnya, Indonesia diterima sebagai anggota PBB ke-60 pada tanggal 28 september 1950.
“Dengan begitu, Indonesia sudah menjadi subyek hukum internasional secara penuh, sekaligus menjadi anggota masyarakat internasional sepadan dengan negara-negara anggota lainnya,†tukas peneliti PSAP UGM ini, yang dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan. (Humas UGM)