Umat beragama saat ini dihadapkan pada beragam persoalan kehidupan keberagaman yang semakin plural sehingga semakin diperlukan upaya untuk menciptakan sikap konstruktif apresiatif, santun berpikir dan bertindak serta bijak terhadap setiap kenyataan kemajemukan umat. Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor, Fakultas Filsafat UGM, Win Usuluddin, dalam disertasinya yang berjudul Filsafat Ketuhanan Karl Theodor Jaspers dan Relevansinya bagi Perkembangan Pemikiran Keberagamaan di Indonesia, menyebutkan masyarakat Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir dapat hidup secara guyub rukun dan berdampingan dalam kebinekaan. Namun, konflik horizontal acapkali terjadi. Ironinya perbedaan agama justru disinyalir menjadi salah satu alasan.
Menurutnya, dalam bingkai filsafat ketuhanan umat beragama perlu untuk bersikap rendah hati, menerima keterbatasan dan memaknai Tuhan karena tidak ada yang dapat mengenal-Nya secara tuntas selain Dia. “Manusia hanya mampu menangkap sandi atau teks yang ditulis secara transendensi,” kata Win Usuluddin dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Filsafat UGM, Rabu (9/5).
Dalam filsafat ketuhanan yang diutarakan Jaspers, yakni transendensi, cipher, das umgreifende dan iman filosofis digunakan untuk menyatakan ketidaksanggupan manusia mengonsepsi sejati Tuhan tetapi dapat meyakini Tuhan itu ada.
Pemikiran ketuhanan Jaspers sebagai tokoh eksistensialis theistik, menurutnya, relevan dengan pemikiran keberagaman di Indonesia terutama tatkala memaknai tujuan filsafatnya yang hendak mengembalikan manusia kepada dirinya jati dirinya sendiri untuk mengerti makna hidup secara jelas.
Menurutnya, pemikiran Jasper sangat penting bagi upaya berbenah secara nyata untuk menjadi manusia utuh dan sebenarnya ketika manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan. Kehidupan manusia yang heterogen dan plural merupakan keniscayaan laten, tetapi bukan alasan untuk saling menafikan eksistensi satu sama lain. “Karenanya setiap diri sama-sama bertugas menghormati nilai dan pandangan dunia yang lain bahkan ditantang dan harus memahami budaya lain dan toleran terhadap praktik agama orang lain,” pungkasnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)