Mekanisme consociational dianggap cukup berhasil di negara-negara seperti Austria, Belgia, Belanda, Swiss dan pada tingkat tertentu di Malaysia. Namun tidak di Lebanon yang didera konflik hingga kini.
Di negeri yang indah dan eksotis di pinggir Laut Tengah ini, kegalan mekanisme consociational disebabkan kesepakatan para elite tidak didukung massa. Terdapat perlakukan tidak adil dari elite kepada kelompok Syiah yang menjadi mayoritas penduduk di Lebanon dan kuatnya pengaruh asing.
Demikian pernyataan Dra Siti Muti’ah Setiawati MA saat ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, hari Sabtu (25/8). Promovenda mempertahankan desertasi “Mekanisme Consociational Untuk Mengendalikan Konflik Antar Komunitas di Lebanon†dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Ichlasul Amal MA dan ko-promotor Prof Dr Mochtar Mas’oed MA.
Kata Siti Muti’ah, mekanisme consociational merupakan mekanisme berbagi kekuasaan (power sharing) antara komunitas utama di dalam masyarakat, dengan tujuan mencapai stabilitas demokrasi yang bertahan lama, serta mencegah konflik antar komunitas di dalam masyarakat plural (heterogen). Di Lebanon, mekanisme ini diwujudkan dalam kesepakatan tidak tertulis dan tertuang dalam Pakta Nasional 1943 atau dalam bahasa Arab Mithaq al Watani.
Perjanjian tersebut disepakati oleh Bishara Khouri dari Kristen Maronit, dan Riadh ul Solh dari Muslim Sunni. Disebutkan, bahwa Presiden harus dipegang Kristen Maronit dan Perdana Menteri oleh Muslim Sunni, serta Muslim Syiah menduduki jabatan Ketua Parlemen.
“Sejak awal diberlakukan mekanisme ini sebenarnya sudah menunjukkan kegagalan, yaitu dengan terbunuhnya Perdana Mentri Riadh ul Solh dan meletusnya Perang Saudara tahun 1956,†ujar Siti Muti’ah.
Dijelaskannya, massa Kristen sesungguhnya menolak mekanisme ini. Karena yang akan menduduki jabatan presiden hanya dari Kristen Maronite, sementara 12 Sekte Kristen lain tidak memiliki kesempatan. Disamping itu, di dalam Kristen Maronite sendiri hanya keluarga tertentu yang berhak menduduki jabatan Presiden, seperti keluarga Franjieh, Chamoun, Gemmayel, Moawad dan Lahoud. Sedangkan diantara kelompok Muslim Sunni hanya keluarga konglomerat yang bisa menduduki jabatan Perdana Mentri, seperti keluarga Solh, Salam, Karami, Hariri dan Siniora.
“Di lain pihak, komunitas Muslim Syiah menjadi mayoritas kelompok yang dipinggirkan dan mendapat perlakukan tidak adil secara ekonomi dan politik oleh elite. Kecenderungan ini tampak dengan cara membiarkan kekuatan asing, Israel menyerang mereka. Akibatnya, komunitas Syiah terpinggirkan juga mendatangkan kekuatan dari luar khususnya Iran dan Syuriah. Hasil dari campur tangan asing ini, terbentuknya Gerakan Politik Islam Hizbullah pada tahun 1982, guna melindungi dan mengakomodasi kepentingan Syiah yang terabaikan,†jelas Siti Muti’ah.
Sikap diskriminatif elite, menjadikan konflik Lebanon meluas, yang semula konflik komunitas Muslim dengan Kristen seperti pada perang saudara tahun 1956 dan 1975, berubah menjadi konflik Hizbullah (Syiah) melawan Israel. “Seharusnya elite dalam grand coalition menurut mekanisme consociational tidak hanya berbagi kekuasaan (power) tetapi juga berbagi kebijakan (authority) untuk melindungi warganya, khususnya dalam keadaan negara mempunyai masalah disintegritas,†tambah Siti Muti’ah yang dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude, sekaligus meraih gelar doktor Bidang Ilmu Politik UGM.
Dalam pandangan dosen Jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM ini, hasil penelitiannya memberi pelajaran bagi semua penguasa, bahwa keadilan untuk semua (justice for all) adalah hal penting dalam menjalankan kekuasaan. “Selain itu, penelitian ini sebagai rambu, bahwa hampir semua konflik internal pasti mengandung dimensi internasional, pengaruh atau intervensi asing, sehingga penyelesaian konflik internal menjadi hal yang mendesak yang harus dilakukan oleh pemimpin negara,†tandas Siti Muti’ah. (Humas UGM).