Yogya, KU
Salah satu kelemahan dan sangat kontroversial dalam Draft Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (RUU Tipikor) yang dibuat oleh tim pemerintah menurut pakar hukum Saldi Isra, SH, MPA, masih ada ketentuan yang menyebutkan perkara korupsi diadili oleh pengadilan biasa. Padahal, seharusnya ada pengadilan khusus (pengadilan tipikor) yang menangani kasus korupsi, mengingat banyaknya koruptor yang bebas dari sanksi hukum saat diadili di pengadilan biasa.
“Bahkan masih ada ketentuan secara tidak langsung yang menyatakan untuk membubarkan pengadilan Tipikor ini. Sedangkan isu krusial lain adalah mengenai penghilangan eksistensi hakim ad hoc pengadilan tipikor,†ujar Saldi Isra usai menjadi pembicara seminar ‘Konsultasi Publik RUU Tindak Pidana Korupsi Versi Masyarakat’, Rabu (29/8) di Ruang Multi Media Fakultas Hukum UGM.
Selain itu, Saldi juga menyoroti tentang persoalan partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi dalam draft RUU tersebut, terutama dalam hal perlindungan saksi. â€Jika tidak ada perlindungan saksi maka orang tidak akan mau memberikan saksi karena tidak ada perlindungan, maka harus ada pemberian perlindungan maksimal kepada saksi atau pelapor,†ujar staf pengajar FH Universitas Andalas Padang, Sumatera Barat ini.
Saldi sependapat jika ada pelapor yang ingin membuka indentitas dirinya, maka dari itu harus di beri ruang sebesar-besanya. Namun demikian, tetap diberi perlindungan bagi yang memberi laporan. “Ini yang belum dimunculkan dalam UU Tipikor yang lama,†imbuh Saldi.
Imbalan yang jauh lebih besar juga dibahas dalam draft ini bagi mereka yang menjadi pelapor kasus korupsi dan kasus yang dilaporkan tersebut benar-benar terbukti. Imbalan yang diberikan pun jauh lebih besar seperti yang ada dalam PP No 71 Tahun 2000.
“Ini boleh saja dianggap sebagai hadiah, tapi dapat dikatakan persentase yang diterima si pelapor lumayan besar, misalnya jika bisa melaporkan sebuah kasus dengan jumlah yang dikorupsi sebesar 100 milyar, maka akan akan menerima 2,5 persen dari uang yang dikorupsi itu, dapat 2,5 milyar,†tuturnya.
Saldi menambahkan, langkah ini sebagai upaya untuk mendorong masyarakat untuk berpartisipasi melakukan pemberantasan korupsi. Sedangkan bagi aparat hukum yang menghalang-halangi atau tidak menindaklanjuti dari setiap kasus yang dilaporkan terindikasi korupsi maka akan dikenakan sanksi hukum.
Kegiatan Seminar ini diadakan lembaga Pusat Kajian korupsi UGM yang bekerjasama dengan lembaga Kemitraan Partnership. Hadir juga menjadi pembicara diantaranya Eddy O.S Hiarej, SH M. Hum, Zainal Arifin Mochtar, SH LLM. Sedangkan bertindak sebagai moderator Hasrul Halili, SH.(Humas UGM)