Demikian disampaikan Jenderal TNI (purn) A.M. Hendropriyono saat Seminar dan Sarasehan Peran Filsafat dan Local Wisdom Dalam Pengembangan Daerah Untuk Meningkatkan Semangat Kebangsaan, bahwa yang berlangsung di dunia saat ini kaum kapitalis tengah berhadap hadapan dengan Islam Universal. Kaum kapitalis mengusung Neoliberalisme sebagai tesis, penganut Islam Universal mengusung radikalisme sebagai anti tesis.
“Masing-masing, keduanya memakai dua kebudayaan yang nyaris saling bertentangan, sehingga memicu terjadinya the class of civilization, konflik peradaban di dunia ini,†ujar Hendro Priyono, di auditorium Filsafat UGM, Kamis (30/8).
Kata Hendro Priyono, fenomena paradoxal yang berlanjut tersebut mestinya bisa berkurang, jika masyarakat di negara-negara bangsa berhasil melakukan konsolidasi atas dasar kesadaran, bahwa sintesis dari dialektika sosial abad ini adalah suatu kehidupan kebangsaan yang segar. Konsep kehidupan kebangsaan segar, yang baru dan bersifat dinamis dapat diidentifikasi sebagai kebangkitan dari Neonasionalisme dalam entitas of the Nation States diberbagai belahan dunia.
“Dalam hali ini, Neoliberalisme telah membuka jalan bagi cita-cita pencerahan Imannuel Kant (1724-1804), yaitu pencapaian keadilan dan kebebasan individu melalui konsep Demokrasi Barat,â€tambah Hendro.
Cita-cita Kosmopolitanisme Kant, yang merupakan bentuk Protetanisme Sekuler dalam wujud modernitas dianggap tidak sesuai oleh kaum radikal penganut Islam Universal. Menurut Hendro, yang menjadi masalah pokok adalah diskursus tentang prinsip toleransi yang bersifat paternalistik. Bahwa masing-masing berkeinginan berkuasa atas dunia. Sehingga baik kaum Neoliberalis maupun penganut Islam Universal dalam posisi masing-masing saling berhadap-hadapan.
“Secara komunal sebagai warga dunia yang mempunyai hak sama diatas bumi ini, prinsip kesanggrahan dari Neonasionalisme, yaitu suatu posisi yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dinilai lebih manusiawi, dibandingkan dengan sekedar menerima belas kasihan sebagaimana yang digariskan dalam prinsip toleransi,†tandas Hendro.
Tesis sosial dunia berupa neoliberalisme dan anti tesis berupa Islam universal, kini berlangsung dalam bentuk benturan-benturan peradaban. Meski, fihak barat mencoba meredam benturan-benturan tersebut dengan konsep demokrasi konstitusional (demokrasi parlementer) dan konsep dekonstruksionisme, berupa perombakan total seluruh lembaga dan tata aturan internasional, tetap saja hal itu dinilai tidak adil.
“Hubungan-hubungan antara negara dengan peradaban, berlangsung semakin sulit dan tidak jarang menunjukkan kecenderungan bersifat antagonistik,†lanjut Hendro.
Oleh karena itu diakhir makalahnya, Hendro Priyono menegaskan Ontologi Neonasionalisme yang jauh dari cita-cita untuk menguasai dunia yang mengglobal ini, dinilai lebih realistis dibandingkan konsep kosmopolitanisme dan kewarganegaraan dunia, sebagaimana cita-cita pencerahan para Kantianis. “Demikian halnya dengan Daulah Islamiyah (Kekuasaan Islam didunia), sebagaimana cita-cita radikal Islam Universal. Tataran operasional Neonasionalisme harus bersifat praktis dan antisipatif terhadap fenomena paradox universalisme,†tukas Hendro Priyono.
Seminar dan Sarasehan yang digelar Fakultas Filsafat UGM ini, didukung pula Hendopriyono & Associates, PT BRI (persero) dan PT Freeport Indonesia. (Humas UGM).