Beberapa dosen Fakultas Hukum UGM menyampaikan keprihatinan atas dikabulkannya gugatan perusahaan sawit PT Kallista Alam pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Melabouh, Aceh, pada 13 April lalu. Padahal, sebelumnya perusahaan tersebut telah dinyatakan bersalah oleh MA hingga ke tingkat kasasi atas perbuatan melawan hukum karena melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar yang berdampak pada kerusakan lingkungan.
Dikabulkannya gugatan baru dengan substansi perkara yang sama ini menurut dosen Konsentrasi Hukum Acara Perdata, Hasrul Halili, sebagai upaya penyelundupan hukum yang bertentangan dengan semangat pelestarian lingkungan hidup. “Seharusnya hakim punya semangat untuk penegakan hukum di bidang lingkungan,” ujarnya.
Menurutnya, pengadilan tidak mengikuti tren positif dari semangat negara dalam penegakan hukum lingkungan. “Putusan PN Melabouh, menurut saya melawan tren positif dan melawan hukum acara dan hukum pidana,” katanya.
Halili tidak habis pikir dengan keputusan hakim yang menyidangkan kembali dengan perkara yang sudah diputuskan inkrah atau putusan hukum berkekuatan tetap dari MA. “Nampaknya putusan hakim PN ini tidak memperhatikan unsur rasa keadilan masyarakat, namun mementingkan perusahaan,” katanya.
Dosen Hukum Acara Perdata lainnya, Laras Susanti, SH., LL.M., mengatakan putusan yang sudah inkrah lalu dimasukkan dalam gugatan baru lagi dengan mempermainkan yurisprudensi tidak menghilangkan pokok perkara. Ia pun mengharapkan di tingkat pengadilan tinggi nantinya hakim bisa menolak putusan PN ini. “Semoga nanti pengadilan tinggi menolak putusan PN,” katanya
Dosen Hukum Lingkungan UGM, I Gusti Agung Made Wardana Ph.D., mengatakan sepanjang pengetahuannya dalam penindakan perusahaan sawit pembakar hutan, baru kali ini ada perusahaan yang melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan baru meski sudah dihukum.”Seharusnya putusan MA sudah dieksekusi, namun ada celah kesalahan penulisan titik kordinat (lokasi), menjadi pintu masuk mereka untuk menyampaikan surat gugatan,” katanya.
Meski hanya menyampaikan letak lokasi yang menurutnya hanya salah ketik dalam penulisan putusan oleh MA, bagi Wardana bukan substansi yang menjadi putusan tersebut batal. Sebab, dalam pokok perkara yang diputuskan oleh MA berdasarkan pada pelanggaran hukum pidana dan perdata yakni pembiaran pembukaan lahan dengan cara membakar. “Soal gugatan baru dengan kesalahan penulisan angka titik koordinat itu bukan termasuk objek perkara, pembakaran hutan di wilayah konsesinya itu yang sebetulnya menjadi pokok perkara,” katanya.
Para dosen hukum UGM ini mendesak agar MA segera memerintahkan eksekusi putusan kasasinya serta meminta MA melakukan kajian tentang penggunaan yurisprudensi yang dilakukan oleh majelis hakim PN Melabouh yang menyidangkan gugatan PT Kallista Alam. (Humas UGM/Gusti Grehenson)