
Di tengah perkembangan sektor jasa di kota-kota besar, berbagai daerah di Indonesia masih gencar mengembangkan sektor industri. Untuk memaksimalkan potensinya, pengembangan sektor ini disertai dengan pengelompokan industri ke dalam klaster industri.
Salah satu kabupaten yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi klaster industri adalah Kabupaten Temanggung di Provinsi Jawa Tengah.
“Kawasan peruntukan industri kalau tidak diklaster maka persebarannya tidak merata. Perlu ada zonasi supaya lebih terkontrol,” ujar peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM, Sa’duddin, Kamis (28/6).
Ia menjelaskan kawasan peruntukan industri secara definisi dan regulasi berbeda dari kawasan industri. Kawasan industri, ujarnya, merupakan kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri. Sementara itu, kawasan peruntukan industri merupakan bentang lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri berdasarkan rencana tata ruang wilayah, namun tidak memiliki pengelola khusus dan masih bersinggungan dengan kawasan permukiman.
Aglomerasi industri di Kabupaten Temanggung, ujar Sa’duddin, belum bisa dijadikan kawasan industri karena belum didukung sarana dan prasarana yang memadai. Meski demikian, tidak berarti bahwa di kabupaten ini tidak bisa dilakukan klasterisasi atau zonasi layaknya kawasan industri.
Analisis secara makro yang ia lakukan dengan metode location quotient, data mining, dan analisis spasial menunjukkan bahwa sektor industri merupakan sektor yang memiliki potensi dan daya saing yang kuat untuk berkembang di masa mendatang. Pengembangan sektor industri di Kabupaten Temanggung, ujarnya, adalah tepat untuk dilakukan.
“Di satu sisi pemerintah daerah ingin dijadikan kawasan industri, tapi di sisi lain, kondisinya tidak memungkinkan. Dengan kondisi ini, kami mencoba membuat pengelompokan dari industri yang ada,” imbuhnya.
Berdasarkan jumlahnya, jenis industri yang dominan di kabupaten ini adalah industri pengolahan tembakau sebanyak 40,36% disusul industri makanan dengan 14,01%, industri barang galian bukan logam dengan 3,77% dan industri kayu dan sejenisnya sebanyak 3,33%. Sementara berdasarkan nilai investasinya, nilai investasi terbesar adalah industri kayu dan sejenisnya dengan 45,76% disusul industri pengolahan tembakau sebesar 21,65%, dan industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia sebesar 17,49%.
Berdasarkan karakteristik tersebut, ia membuat pengelompokan untuk 3 kawasan, yaitu kawasan industri Badram yang cenderung lebih tepat untuk kelompok industri 3 yang mencakup industri kayu, barang dari kayu dan gabus dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya. Sementara itu, kawasan industri Kupen, menurutnya, lebih tepat untuk kelompok industri 2 yang mencakup industri tekstil, industri pakaian jadi, industri pengolahan tembakau, industri percetakan dan reproduksi media rekaman, industri bahan kimia, barang galian bukan logam, dan barang logam kecuali mesin dan peralatan.
Kawasan ketiga yang ia petakan adalah kawasan Ngipik yang masih memiliki jenis dan jumlah industri yang terbatas sehingga cenderung lebih tepat untuk kelompok industri 1, yaitu makanan, tekstil, dan industri farmasi.
“Saya harap pengelompokan ini juga bisa diterapkan di Kabupaten lain seperti Kulon Progo dan kabupaten lainnya yang juga tengah mengembangkan sektor industri,” ucap Sa’duddin. (Humas UGM/Gloria)