
Keterlibatan intelijen dan penegak hukum menjadi hal yang tidak terpisahkan dari upaya konter terorisme saat ini, termasuk juga di Indonesia.
Melalui penelitiannya, mahasiswa doktoral UGM mengkaji double track approach dalam penanganan terorisme di Indonesia, yakni penegakan hukum dan intelijen.
“Kedua lembaga tersebut berbeda, baik dari segi kewenangan struktur, maupun metode kerjanya. Namun demikian, keduanya dituntut untuk bekerja sama guna menangani permasalahan yang sama,” ujar Troesto Poernomo saat mengikuti ujian terbuka program doktor pada Jumat (29/6) di Fakultas Hukum UGM.
Dalam kesempatan ini, ia mempertahankan disertasinya yang berjudul “Penanganan Terorisme di Indonesia Melalui Pendekatan Hukum dan Intelijen”.
Ia menyebutkan, keterlibatan intelijen dalam terorisme meliputi tindakan identifikasi aktor yang terlibat, pembuatan data base, serta identifikasi risiko. Selain itu, intelijen juga melakukan serangan balik secara klandestin, mengacaukan solidaritas teroris, memberikan peringatan dini dan mencegah serangan, mengacaukan sistem komunikasi teroris, dan membagi informasi kepada mitra kerjanya secara selektif.
Penanganan terorisme oleh intelijen, menurutnya, lebih berupa pendekatan lunak yang dilakukan di luar jalur hukum dan dengan cara yang bersifat tidak represif.
“Intelijen berfungsi untuk menangkal setiap ancaman terhadap kepentingan dan keamanan nasional, salah satunya yang berasal dari terorisme baik yang bersifat nasional, regional, maupun internasional,” jelasnya.
Meski keterlibatan ini dibenarkan secara hukum, ia menekankan bahwa teknik investigatif yang digunakan perlu diperhatikan, agar tidak sampai melanggar HAM.
“Teknik-teknik investigatif merupakan cara yang efektif untuk mengonter terorisme internasional. Namun demikian, dalam pelaksanaannya tersebut tetap perlu memperhatikan HAM dan jangan sampai aparat intelijen bertindak seperti aparat penegak hukum,” ucapnya.
Meski peran intelijen dalam hal ini begitu penting, ia menambahkan bahwa intelijen bukan satu-satunya pihak yang dapat membantu kinerja penegak hukum dalam upaya penanganan terorisme. Untuk upaya ini, menurutnya, perlu pemantauan yang berkesinambungan dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan korban aksi terorisme.
“Terorisme tidak dapat dikalahkan hanya dengan kekuatan militer, tindakan penegakan hukum, dan operasi intelijen semata,” imbuh Troesto.
Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa diperlukan unsur bottom up dari masyarakat dalam pembuatan kebijakan penanganan terorisme agar kebijakan tersebut dapat lebih komprehensif.
“Masyarakat yang lebih mengenal keadaan lingkungannya. Dengan demikian, masyarakat merasa terpanggil untuk menjaga keamanan dan turut serta mempersempit ruang gerak pelaku terorisme, mengingat pelaku terorisme hidup di tengah-tengah masyarakat,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)