Jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Data dari United Nation High Commissioner for Refugees (UNHCR) menunjukkan jumlah pengungsi dan pencari suaka dalam beberapa tahun belakangan terus mengalami peningkatan dan tercatat ada lebih dari 14.405 pengungsi dan pencari suaka.
Sebagian besar dari mereka berasal dari Myanmar, Afganistan, Irak, Iran, Somalia dan negara-negara lain di Timur Tengah, Afrika dan Asia Selatan. Sekitar sepertiga dari pengungsi tersebut menempati 13 rumah detensi imigrasi di berbagai wilayah Indonesia. Sepertiga lainnya tinggal di rumah-rumah komunitas (Community House) yang dibiayai oleh International Organization for Migration (IOM), sedangnya yang lainnya hidup membaur dengan masyarakat lokal.
“Tahun 2017, IIS Fisipol UGM mengembangkan studi tentang pengungsi karena jumlah pengungsi sudah semakin banyak, sedangkan kesempatan untuk mereka di shuttle ditampung di tempat-tempat baru di negara ketiga semakin sedikit. IIS berinisiatif mencarikan solusi untuk berkontribusi sebaiknya apa yang harus dilakukan untuk membantu persoalan global ini,” ujar Atin Prabandari, M.A dalam peluncuran kertas kebijakan Akses Pekerjaan untuk Pengungsi di Indonesia: Peluang dan Tantangan, di Gedung BB Fisipol UGM, Jumat (29/6).
Berbicara dalam rangkaian Peringatan Hari Pengungsi Sedunia yang jatuh pada 20 Juni setiap tahunnya, Atin mengatakan yang menjadi persoalan saat ini adalah para pengungsi tidak mendapatkan hak-hak yang wajar sebagai seorang manusia. Para pengungsi ini bukan bagian dari warga negara Indonesia, beberapa hak tidak mereka terima, seperti hak pendidikan dan mendapatkan pekerjaan.
Menurut Atin dalam hal penanganan pengungsi, Indonesia hanya sebagai negara transit sebelum mereka ditempatkan di negara-negara ketiga. Para pengungsi selama menunggu ini tanpa mendapatkan kepastian terhadap akses pendidikan dan pekerjaan.
“Bisa-bisa mereka tinggal disini hingga 25 tahun tanpa kepastian, tanpa akses yang bagus terhadap pendidikan dan pekerjaan. Oleh karena itu, studi-studi IIS menggagas hal tersebut. Bekerja sama dengan UNHCR chapter south of Asia, melihat bagaimana kemungkinan-kemungkinan membuka akses pekerjaan terhadap pengungsi yang ada di Indonesia,” kata dosen Departemen Hubungan Internasional, Fisipol UGM ini.
Yunizar Adiputera, M.A, dosen Departemen Hubungan Internasional, Fisipol UGM, menambahkan meski tidak menandatangani Konvensi tentang Status Pengungsi tahun 1951 atau Protokol 1967, pemerintah Indonesia saat ini melakukan langkah maju dalam penanganan soal pengungsi. Kemajuan tersebut diperlihatkan dengan terbitnya Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Sayangnya, Perpres tersebut belum memperlihatkan komitmen pemerintah dalam penanganan pengungsi secara menyeluruh. Proses implementasi dari Perpres masih menemui banyak hambatan dan belum memberi dampak signifikan sehingga meski penerbitan Perpres ini dianggap sebagai sebuah kemajuan, namun peraturan-peraturan teknis di bawahnya belum menjawab persoalan mendasar krisis pengungsi.
“Meski disambut baik oleh dunia internasional, kita perlu mencermati bahwa beberapa aturan yang sudah diterbitkan oleh pemerintah belum secara efektif berdampak pada pengungsi,” ungkap Yunizar Adiputera.
Yunizar menjelaskan Peraturan Nomor 0352.GR.02.07 Tahun 2016 tentang Penanganan Imigran Ilegal dan Perpres No. 125 Tahun 2016 menandai ruang yang lebih humanis bagi pengugsi. Peraturan Peraturan Nomor 0352.GR.02.07 Tahun 2016 menyebutkan bahwa pengungsi dan pencari suaka yang memiliki surat keterangan dari UNHCR tidak akan dijatuhi sanksi imigrasi.
Peraturan tersebut tentunya menggugurkan Undang-Undang Keimigrasian No. 6 Tahun 2011 yang menyamakan pengungsi dan pencari suaka dengan imigran ilegal. Sementara, Perpres No. 125 Tahun 2016 menerangkan mekanisme yang lebih spesifik dalam menangani pengungsi, termasuk dengan pelibatan pemerintah daerah dan pengalokasian APBD. Dalam Perpres juga dijabarkan soal mekanisme identifikasi, pendaftaran, penampungan, pengamanan, pengawasan dan pendanaan.
Meski begitu, Yunizar menandaskan bila Perpres tersebut belum berjalan secara efektif. Belum efektif karena penandatanganan Perpres dilakukan di akhir tahun 2016 sehingga alokasi dana untuk penanganan pengungsi di tahun 2017 tidak mungkin dilakukan. Sedangkan di tahun 2017 tersebut, pemerintah masih berkutat dengan upaya sosialisasi ke kementerian dan pemda. Perpres juga dinilai tidak memuat hak pengungsi untuk bekerja dan mengakses pendidikan.
“Ketiadaan akses pekerjaan dan pendidikan tentu sangat merugikan bagi pengungsi karena pengungsi bisa menunggu hingga 25 tahun untuk bisa dipindahkan ke negara tujuan,” tandasnya.
Fransisca Dwi Indah Asmiarsi, National Program Officer Jesuit Refugee Service (JRS), menyambut baik usaha akademisi dalam mengadvokasi akses kerja bagi pengungsi. Fransisca mengakui bahwa akses pekerjaan menjadi krusial untuk menopang kehidupan pengungsi.
“Dengan adanya pemotongan anggaran dari IOM, pengungsi yang menempati rumah detensi saat ini semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan pokok,” katanya.
Fransisca menjelaskan berbeda dengan pengungsi yang menempati rumah detensi, para pengungsi yang membaur dengan masyarakat memiliki kesempatan lebih besar untuk diterima dan hidup mandiri. Seperti pengamatan komunitas Jesuit Refugee Service di Bogor menemukan ada hubungan yang baik terjalin antara pengungsi dengan penduduk lokal.
Penduduk lokal, kata Fransisca, mulai memahami bahwa pengungsi berbeda dengan turis. Mereka terpaksa lari karena ingin menyelamatkan diri dari perang di negara mereka.
Berbaurnya para pengungsi dengan penduduk lokal membawa manfaat ekonomi. Roda ekonomi di tingkat mikro berjalan seiring adanya usaha persewaan dan toko sembako.
“Biarpun begitu, apa yang terjadi di Bogor hanyalah satu kasus sukses di antara sekian banyak permasalahan. Itu yang kami lihat di lapangan,” tutur Fransisca.
Fransisca mengungkap beberapa pengungsi menuntut untuk bisa tinggal di rumah detensi. Sayanganya, mereka ditolak karena rumah detensi sudah kelebihan kapasitas. Akibatnya, seperti di Kalideres, Medan, dan Pekanbaru, pada akhirnya para pengungsi membangun tenda di pelataran rumah detensi.
“Itu terpaksa dilakukan pengungsi karena sudah tidak memiliki uang. Tanpa akses pekerjaan, pengungsi terpaksa bergantung pada rumah detensi dan sumbangan organisasi internasional. Padahal, kedua solusi tersebut semakin tidak dapat diandalkan dengan adanya pemotongan anggaran dari IOM. Di titik inilah, pemberian akses pekerjaan bagi pengungsi menjadi krusial,” tandasnya. (Humas UGM/ Agung)