
Sudah enam belas tahun sejak Timor Leste memperoleh kemerdekaannya. Jika Timor Leste dilihat di peta dunia maka akan tampak bahwa ada sebagian wilayah mereka yang berada di luar daerah utama dan dikelilingi wilayah Indonesia (exclave). Kejanggalan itu yang menjadi sorotan dari mahasiswa S3 Ilmu Hukum UGM, Yanto Melkiamus P. Ekon, saat mempertahankan disertasinya dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum, Senin (2/7).
Yanto mengungkapkan pembagian wilayah tersebut berdasarkan pada asas uti possedis juris. Asas tersebut memiliki arti bahwa batas wilayah negara baru harus mengikuti batas yang ditentukan oleh negara yang pernah mendudukinya. “Jadi, wilayah Timor Leste bisa sampai exclave disebabkan oleh negara yang pernah menduduki sebelumnya, yakni Belanda dan Portugis,” ujarnya.
Yanto mengungkapkan kondisi exclave wilayah Timor Leste itu selama ini menimbulkan beberapa masalah. Ia menyebutkan masalah lalu lintas adalah masalah yang paling tampak. “Hanya untuk sekadar berdagang ke wilayah luarnya, seorang warga Timor Leste harus membayar bea cukai kepada pemerintah Indonesia,” jelas pria kelahiran Rote ini.
Selain itu, Yanto juga menjabarkan implikasi yang diterima Indonesia. Ia menuturkan bahwa dengan pembagian wilayah yang semacam itu, Indonesia tidak utuh lagi. Hal itu karena keberadaan distrik Oecusse dalam wilayah Indonesia. Akibatnya, argumen wilayah Indonesia dengan kesatuannya yang bulat telah gagal karena adanya kedaulatan lain di dalam wilayahnya.
Akan tetapi, menurut Yanto, masalah yang paling utama adalah keamanan kedua belah pihak. Masalah-masalah perbatasan yang tidak pernah selesai menimbulkan konflik bagi kedua negara. Salah satunya, adalah masalah wilayah netral di Natuka. Yanto menuturkan bahwa pemaknaan wilayah netral bagi masing-masing negara berbeda. “Indonesia menginginkan wilayah tersebut benar-benar bebas dari kuasa negara, sementara Timor Leste menganggap wilayah tersebut bebas untuk dimanfaatkan,” ungkapnya.
Setelah melihat berbagai masalah tersebut, Yanto menawarkan solusi untuk mengatasinya. Ia mengajukan pemaknaan ulang terhadap asas uti possedis juris. Jika makna lama dari asas tersebut berdasarkan batas yang dibuat negara penjajahnya maka ia memaknainya berdasarkan konteks historis yang lebih jauh dari itu. Ia menginginkan batas tersebut ditetapkan berdasarkan kerajaan terdahulu.
Pemikiran tersebut didapat dari percakapannya dengan masyarakat adat Timor, baik di Timor Barat yang menjadi bagian Indonesia dan Timor Leste. Yanto menuturkan menurut kepercayaan masyarakat adat, dengan mengikuti batas-batas kerajaan terdahulu maka akan didapat kesejahteraan. Ia menambahkan, hal yang sebaliknya terjadi jika tidak segera mengikutinya.
Akan tetapi, solusi yang ditawarkan Yanto ini hanya bisa berlaku untuk wilayah daratnya saja. Hal itu karena wilayah laut tidak diatur kerajaan terdahulu. Ia menerangkan untuk batas laut bisa dibuat berdasarkan hukum internasional kelautan setelah batas darat ditentukan.
Yanto mengungkapkan bahwa tawaran tersebut sebenarnya juga sudah dibawa masyarakat adat Timor ke kedua belah pemerintahan negara masing-masing. Namun, mereka belum juga mendapat respons dari pemerintah masing-masing. “Saya berharap dengan disertasi ini, suara masyarakat adat Timor akan didengar,” tegasnya. (Humas UGM/Hakam)