Wacana pemerintah melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) untuk melakukan moratorium atau pengurangan ilmu sosial di Pergurian Tinggi (PT) mengundang keprihatinan sejumlah dosen di perguruan tinggi, termasuk dosen-dosen kluster sosial-humaniora di Universitas Gadjah Mada.
Dr. phil. Hermin Indah Wahyuni, M.Si, dosen di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, mengaku wacana tersebut memang cukup mengkhawatirkan. Sebab, di Jepang pun hal tersebut sudah dilakukan.
Meski begitu, Hermin berharap hal tersebut tidak terjadi di Indonesia mengingat ilmu-ilmu sosial masih diharapkan kehadirannya untuk terus berkontribusi.
“Memang orang sulit memahami apa sih yang dikerjakan ilmu sosial karena zaman sekarang menuntut produk, sementara produk ilmu sosial selalu soft, misalnya policy atau kebijakan, ide-ide kreatif untuk menemani atau pendampingan bagi masyarakat yang makin kompleks ini,” kata kepala Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM ini, dalam jumpa pers usai round table menyongsong penyelenggaraan International Symposium on Social Science, di UC UGM, Rabu (4/7).
Meskipun pihaknya tak menampik jika di Indonesia ilmu sosial dianggap belum memberikan kontribusi optimal dalam pemecahan masalah-masalah bangsa. Namun, alasan Indonesia lebih membutuhkan sains dan teknologi karena dinilai lebih bisa memberikan kontribusi praktis kepada masyarakat, itu tidak tepat.
Dalam konsep membangun bangsa seharusnya antara kemajuan sains dan teknologi, idealnya bisa beriringan dengan kemajuan sosial budaya yang juga terkait aspek-aspek legal dan etis.
“Dengan menempatkan ilmu sosial sesuai dengan konteknya, kita berharap bisa terhindar dari bencana yang mengancam,” imbuhnya.
Drs. Muhadi Sugiono, M.A, dosen Hubungan International, Fisipol UGM , mengaku ilmu sosial saat ini memang dihadapkan pada dua persoalan yang harus segera direspons, yaitu persoalan relevansi dan jika masih relevan, peran ilmu sosial untuk apa saja? Menurutnya, persoalan relevansi ini penting untuk dijawab, sebab banyak orang tidak menganggap ilmu sosial sudah tidak relevan lagi.
“Dari diskusi hari ini, ternyata banyak sekali yang harus dilakukan dan menjadi pekerjaan rumah. PR tersebut adalah untuk menjadikan ilmu sosial bukan saja sebagai ilmu yang diakui, tapi betul-betul harus bermanfaat bagi kehidupan sosial,” katanya.
International Symposium on Social Science in the Age of Transformation and Disruption : Its Relevance, Role and Challenge, menurut rencana akan digelar pada 4-5 September 2018. International Symposium ini akan mengundang ilmuwan kawakan, sosiolog paling akhir dan masih hidup Jurgen Habermas dan Prof. Anthony Giddens.
Dr. Rikardo Simarmata, dosen Fakultas Hukum UGM, berpandangan ilmu sosial tetap memiliki arti penting untuk kajian-kajian ilmu hukum. Hal tersebut sangat konkret karena ilmu sosial diperlukan untuk membantu menjelaskan mengapa sebuah sistem hukum tidak efektif atau gagal. Itu juga bisa menjelaskan kenapa seseorang patuh terhadap hukum.
“Contoh saja, sekian tahun KPK berdiri, sekian tahun pula UU Korupsi diberlakukan, tetapi kenapa kita masih melihat korupsi di setiap level pemerintahan. Termasuk di sektor swasta, ilmu hukum yang positif tentu tidak bisa menjawab makanya ilmu sosial yang menjawab mengapa orang masih mau melakukan korupsi,” katanya. (Humas UGM/ Agung)