
Achmad Basri, seorang mantan guru honorer yang kini bekerja sebagai tukang cukur di sebuah gang kecil di sudut Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, mengerti betul pentingnya pendidikan bagi masa depan seseorang.
Oleh karena itu, kepada kedua anaknya, ia dan sang istri, Sari Kasnah, tidak pernah berhenti menanamkan arti ketekunan dan tekad yang kuat dalam menuntut ilmu. Ia menyimpan sebuah keinginan dalam benaknya, untuk dapat melihat anak sulungnya, Choiriya Azzahra, mengecap pendidikan di perguruan tinggi yang terkemuka.
“Saya ingin anak saya bisa sekolah lebih tinggi dari saya. Dari teman saya yang anaknya kuliah di UGM saya mendengar bahwa lulusan UGM punya kesempatan yang besar untuk bekerja di mana pun, jadi saya mendorong anak saya untuk kuliah di UGM. Tapi awalnya memang masih ragu-ragu karena saya sadar dari segi keuangan kami minim sekali,” ucap Achmad saat ditemui di rumah sederhana yang ia bangun dengan bantuan dana dari orang tuanya.
Penghasilan yang ia dapat sebagai tukang cukur ia akui hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Terbersit kekhawatiran dalam dirinya bahwa ia tidak mampu memberikan pendidikan yang terbaik bagi Choiriya karena keterbatasan ini.
Ia sempat percaya bahwa pendidikan yang terbaik hanya milik mereka yang beruntung memiliki pundi-pundi uang yang berlebih. Namun, ternyata ketekunan dari sang anak sendiri yang akhirnya membuka jalan bagi dirinya untuk bisa menempuh pendidikan di UGM.
Beberapa bulan silam ia mengetahui bahwa Choiriya berhasil diterima di Fakultas Farmasi UGM tanpa harus membayar biaya kuliah karena ia menjadi satu dari ratusan mahasiswa UGM yang menerima beasiswa Bidikmisi.
Sang gurulah yang menangkap kegigihan dan keinginan besar Choiriya untuk meneruskan pendidikan dan mendorongnya untuk mendaftar beasiswa Bidikmisi, sebuah jalan yang akhirnya terbuka untuk menghantarkan murid yang ia banggakan ke kampus UGM.
“Gurunya terus mendukung dan mendorong untuk mengusahakan segala sesuatu. Ia yang pertama kali memberi tahu bahwa jika tidak mampu dari segi keuangan bisa mencoba Bidikmisi. Saya tidak menyangka anak saya akhirnya benar-benar bisa kuliah di UGM,” tuturnya dengan sebersit rasa haru mengingat momen pertama kali ia mendengar kabar menggembirakan tersebut.
Choiriya hampir tak mampu berkata-kata menggambarkan perasaannya ketika mengetahui bahwa ia bisa mengecap pendidikan di UGM dengan beasiswa Bidikmisi. Masih tidak percaya dengan pengumuman yang ia baca, ia langsung menghampiri ibunya dan menghubungi ayahnya yang ketika itu masih berada di tempat kerjanya.
Ia tidak bisa memikirkan orang yang lebih tepat baginya untuk berbagi kebahagiaan ini karena ia sadar perjuangannya untuk bisa menempuh pendidikan bukan hanya miliknya sendiri, tapi juga kedua orang tuanya.
“Orang tua sayalah yang selalu mendukung saya, selalu mengingatkan, selalu memberi semangat,” katanya.
Ketika mendaftarkan diri ke UGM melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), ia mengaku sama sekali tidak menyangka bahwa dirinya akan diterima karena banyak seniornya yang sempat mencoba mendaftar dan gagal.
Sadar akan kesempatan berharga yang ia miliki, ia pun berjanji kepada orang tuanya untuk terus menjadi pribadi yang tekun dan pantang menyerah di dalam masa kuliahnya, hingga suatu hari nanti ia bisa lulus dan membanggakan kedua orang tuanya melalui apa yang berhasil ia kerjakan.
“Semoga setelah lulus nanti saya bisa bekerja untuk menolong orang lain, menjadi orang yang berguna untuk masyarakat, dan tentunya membuat orang tua saya bangga,” imbuhnya. (Humas UGM/Gloria)