Demokrasi di Indonesia tampaknya memang sedang memasuki titik kritis dan titik balik yang mebingungkan publik. Kebingungan menilai proses demokrasi ini tercermin dari kontroversi yang cukup tajam antara mereka yang berpendapat bahwa demokrasi berjalan menguat dan yang berpendapat sebaliknya.
“Tampaknya, proses demokratisasi bangsa dalam sewindu ini baru sebatas dimaknai sebagai kebebasan dari represi politik, belum sampai pada bagaimana menghargai pendapat dan menerima perbedaan,†ungkap Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam menyampaikan Orasi Budaya peringatan 62 tahun kelahiran Pancasila, Kamis (31/5) di Boulevard UGM.
Bahkan menjelang 62 tahun usia kemerdekaan RI, kata Sultan, perasaan belum merdeka dari tekanan bangsa lain justru amat terasakan. Walaupum penjajahan secara langsung telah berakhir, namun independensi dan kedaulatan sebagai sebuah Negara-bangsa tetap menjadi tantangan yang belum selesai. Bahkan di tengah globalisasi dan pasar bebas, determinasi asing membuat substansi kemerdekaan terasa kehilangan maknanya.
Sebaliknya, kenyataan pada era reformasi justru kata Pancasila jarang terdengar. Setelah di era lalu selalu diucapkan oleh siapa pun seakan mantra sakti, kini cenderung melupakan Pancasila dalam pidato-pidato resmi.
“Mereka seolah ingin melepaskan diri dari stigma masa lalu. Hal ini ditenggarai sebagai peringatan dini, bahwa pancasila mulai tererosi dari jiwa bangsa,†tandas Sultan.
Bagaimana mengusahakan agar Pancasila tidak jatuh dalam ekstrem “mantra sakti†di satu sisi, dan “diabaikan†di sisi lain? bagaimana memperjuangkan agar ia tetap menjadi inspirasi bagi roh keindonesiaan?dari mana kita akan memulainya, tidak lain adalah pembelajaran sejarah.
“Dalam Pancasila ditemukan mutiara-mutiara renungan yang terlalu berharga untuk diabaikan. Janganlah Indonesia sampai runtuh dari sebagai akibat kita lalai mempelajari, merenungkan, dan menghidupi hakikat Pancasila,â€
“Pancasila sebagai ideologi terbuka dapat berkembang menjadi suatu yang dinamis, baik dalam makna maupun realita,†sambung Sultan.
Lanjut Sultan, setiap generasi dan kelompok masyarakat dimugkinkan memberikan makna yang berbeda dan mewujudkannya dalam keragaman pula. Tetapi bagaimana pun, Pancasila tetap menjadi sumber semangat, kearifan dan kekuatan bangsa, sehingga menyadarkan bangsa ini setiap menghadapi cobaan, kemelut dan krisis, sekaligus guna merajut kembali persatuan dan kesatuan yang retak, menuju the dream land: Indonesia baru. (Humas UGM)