
Dosen Universitas Bakrie, Ir. Gunardi Endro, Ph.D., mengatakan refleksi etis Bhinneka Tunggal Ika yang mendasari sikap objektif memunculkan pola pikir pluralisme atau sebaliknya monisme yang problematis. Demikian pula refleksi etis Bhinneka Tunggal Ika yang didasari sikap subjektif memunculkan pola pikir subjektivisme atau sebaliknya absolutisme yang problematis.
Oleh karena itu, refleksi etis Bhinneka Tunggal Ika yang tepat didasari pola pikir teologis, bersesuaian dengan interprestasi terhadap latar belakang munculnya seloka yang lengkap berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa”. Secara formal, refleksi etis Bhinneka Tunggal Ika yang tepat didasari sintesis sikap dan dialektis subjek-objek berbentuk siklus yang mencakup berfungsinya secara seimbang akal budi dan kepercayaan.
“Secara material, refleksi etis Bhinneka Tunggal Ika yang tepat didasari paling sedikit nilai-nilai dasar kemanusiaan sebagai acuannya,” katanya, di Fakultas Filsafat UGM, Jumat (13/7) saat menyampaikan makalah Posisi Etika Bhinneka Tunggal Ika, pada Konferensi Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI) ke-28.
Gunardi menyatakan pada konteks masyarakat Indonesia, isi material dari Bhinneka Tunggal Ika terungkap sebagai nilai-nilai dasar Pancasila. Jika nilai-nilai dasar Pancasila merupakan bagian dari suatu kebudayaan maka nilai-nilai itu berperan sebagai kekuatan pemersatu bagi terwujudnya Bhinneka Tunggal Ika.
“Karena nilai-nilai dasar tersebut bersifat potensial, bukan keniscayaan, dan kebudayaan yang mengandung nilai-nilai dasar Pancasila harus selalu diperjuangkan,” ungkap Gunardi, dosen yang menekuni Etika Terapan sejak tahun 1996.
Sementara itu, Dr. Bernadus Wibowo Suliantoro, M.Hum, dosen Universitas Atmajaya Yogyakarta, yang berbicara soal keadilan menyatakan keadilan sosial merupakan persoalan kompleks terkait berbagai dimensi kehidupan manusia. Manusia sendiri merupakan makhluk multi-dimensional sehingga dalam membangun kehidupan masyarakat secara adil dan beradab memiliki keunikan dan kerumitan sendiri.
Menurutnya, banyak aspek yang perlu dipertimbangkan untuk menghasilkan keputusan yang adil karena penekanan terhadap satu aspek akan melahirkan aliran pemikiran kefilsafatan tertentu.
Seperti liberalisme yang memberi perhatian lebih pada penghargaan martabat manusia sebagai pribadi, sosialisme memberi perhatian secara lebih terhadap penghargaan martabat manusia sebagai makhluk sosial. Cara pandang berat sebelah yang menekankan satu aspek kehidupan manusia menjadi kelemahan ketika memahami konsep keadilan sosial dalam hidup bermasyarakat.
“Karen J. Warren merupakan tokoh ekofeminis yang berusaha merumuskan konsep keadilan sosial secara lebih komprehensif,” ujarnya saat menyampaikan makalah Konsep Keadilan Sosial Dalam Kebhinnekaan Menurut pemikiran Karen J. Warren.
Bernadus Wibowo mengatakan ekofeminisme tidak hanya sebuah aliran pemikiran kefilsafatan melainkan juga gerakan sosial yang memperjuangkan keadilan dan perbedaan. Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dalam realitas kehidupan. Manusia berbeda dengan binatang, perempuan berbeda dengan laki-laki, namun diantara perbedaan bagaimana masing-masing pihak memperoleh kedudukan, tempat dan penghargaan yang adil.
“Salah satu persoalan etika mendasar dalam kebhinekaan di masyarakat adalah bagaimana memperlakukan secara adil terhadap para pihak yang berbeda,” katanya.
Ditandaskannya keadilan merupakan nilai bawaan sekaligus merupakan hasil konstruksi pemikiran manusia. Setiap manusia terlahir tidak hanya mampu membedakan antara hal yang baik dan buruk, melainkan dapat membedakan mana yang adil dengan tidak tidak adil.
“Perbuatan manusia pada hakikatnya digerakkan oleh pola pikir yang melatarbelakanginya. Aktivitas kehidupan manusia tidak berlandaskan pada dorongan insting semata, melainkan digerakkan oleh kerangka pemikiran tertentu,” tandasnya.
Konferensi Himpunan Dosen Etika Seluruh Indonesia (HIDESI) ke-28 berlangsung selama dua hari, 13-14 Juli 2018 di Fakultas Filsafat UGM dan Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Pertemuan HIDESI ke-28 mengambil tema Etika dan Bhinneka Tunggal Ika.
“Pertemuan kali ini diikuti 70 peserta dari 18 perguruan tinggi, dan tema Bhinneka Tunggal Ika saya kira sesuai dengan konteks di masyarakat indonesia saat ini,” kata Dr. Alexander Serang, ketua panitia sekaligus ketua HIDESI. (Humas UGM/ Agung)