Contracture ankle merupakan kondisi terbatasnya gerak atau kesulitan bergerak pada sendi pergelangan kaki akibat kekakuan otot atau deformasi sendi. Hal inilah yang dirasakan Muhammad Fahmi Husaen sebagai salah satu pencetus ide alat ini.
Fahmi merupakan pendirita DMD (Duchenne Muscular Dystrophy), yang merupakan penyakit penurunan fungsi otot sehingga menyebabkan kaki lumpuh. Akibat pergelangan kakinya tidak pernah difisioterapi maka ia mengalami kekakuan dan sulit bergerak. “Untuk mencegah kekakuan tadi, penderita harus melakukan fisioterapi secara rutin, namun hal itu membutuhkan waktu dan uang yang banyak. Tidak semua orang mampu mengakomodasinya,” keluhnya.
Permasalahan itu memberi ide Fahmi beserta dua kawannya untuk menciptakan alat yang mereka namakan sepatu AVEO. Sepatu ini bukanlah sepatu biasa, tetapi dia dapat memberikan gerakan otomatis seperti fisioterapi sehingga dapat mencegah terjadinya contracture ankle. Dengan sepatu AVEO ini jika durasi fisioterapi yang sebelumnya biasanya memakan waktu 30-60 menit, bisa diperpendek menjadi 15 – 30 menit.
Selain itu, Fahmi menjelaskan alat ini juga berfungsi untuk mencegah nyeri akibat diamnya pergelangan kaki dalam posisi yang sama untuk waktu yang lama. Untuk penderita kelumpuhan sementara seperti stroke, alat ini dapat menjaga kondisi kaki hingga sembuh. “Dengan alat itu, ketika penderita sembuh, ia tidak memerlukan waktu fisioterapi pergelangan kaki yang lama,” tuturnya.
Fahmi menerangkan bahwa desain sepatu ini berbasis Ankle Foot Orthosis (AFO), yakni alat untuk mencegah kekakuan otot yang selama ini digunakan oleh para penderita kelumpuhan. Namun, AFO yang selama ini ada hanya bersifat statis dan tidak dapat melakukan peregangan kaki secara otomatis. Hal itu berbeda dengan sepatu AVEO tadi yang bisa melakukan peregangan secara otomatis.
AFO jika digunakan dalam waktu lama, Fahmi menambahkan, kaki juga dapat merasakan nyeri. Hal itu seperti yang dialami Fahmi sendiri. “Sakit yang diterima cukup menyiksa apalagi untuk penderita kelumpuhan yang tidak bisa memperbaiki posisi kakinya sendiri. Hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi penderita kelumpuhan kaki seperti saya,” ungkapnya.
Mekanisme alat ini menggunakan servo dan microcontroler arduino sebagai penggeraknya. Dengan baterai kapasitas 5000 mAh, sepatu dapat bekerja terus menerus selama 1.5 sampai 2 jam. Harganya pun relatif terjangkau. Untuk pembuatan satu, Fahmi menjabarkan dibutuhkan biaya berkisar Rp2.400.000. Jika dikalkulasi produksi massal menekan biaya 30% maka sepatu ini berharga Rp1.500.000. “Namun, itu hanya perhitungan sementara dari kami, mengingat sepatu ini juga belum memenuhi standar untuk diproduksi massal,” terangnya.
Menurut dr. Guritno Adistyawan, Sp.KFR, dokter spesialis alat bantu RS UGM, pembuatan AVEO ini sangat membantu pasien rawat jalan maupun rawat inap, seperti penyakit stroke, cerebral palsy, dystrophy muscular dan banyak lagi. Hal itu karena alat ini bisa mengembalikan kekuatan kaki pasien ataupun pencegahan kekakuan otot.
Guritno mengungkapkan selama ini RS menggunakan tenaga dari fisioterapis untuk melatih pasien. Dengan adanya AVEO, harapannya pekerjaan fisioterapis menjadi lebih mudah. Ia bercerita bahwa fisioterapis sampai saat ini selalu menggunakan kekuatan mereka sendiri. “Dengan AVEO, waktu untuk latihan lebih singkat, kemudian tenaga yang dikeluarkan fisioterapis menjadi lebih ringan,” ungkapnya.
Satu yang belum selesai dari alat ini, menurut Guritno, adalah masalah keamanan. Namun, ia melanjutkan bahwa hal itu wajar karena alat ini masih berupa prototipe. “Semoga setelah disempurnakan alat ini akan berguna bagi penderita contracture ankle yang membutuhkan,” harapnya. (Humas UGM/Hakam)