Pelaksanaan hukum pertanahan di Indonesia setelah reformasi 1998 telah berkembang secara lebih baik dibandingkan sebelum era tersebut. Pemberian ganti rugi tanah, misalnya, telah meningkat dan lebih terbuka dibandingkan pada masa sebelum reformasi.
Kendati begitu, masih ada problem besar antara hukum adat dengan hukum nasional meski Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) telah mengakui hukum adat sebagai hukum positif. Masih diperlukan harmonisasi secara lebih baik. Untuk itu, para hakim di daerah perlu lebih kreatif ketika harus memutuskan suatu perkara sengketa tanah di wilayah masing-masing.
“Bagaimana pun, Indonesia memiliki banyak adat dan masing-masing mempunyai aturan yang mungkin berbeda satu sama lain. Dan, kita tak bisa menggeneralisir suatu keputusan hukum bagi seluruh daerah,” ungkap Prof Dr Jan Michiel Otto dari Van Vollenhoven Institute of Leiden University, di kampus Pascasarjana UGM, Minggu (3/6).
Lanjutnya, dalam penanganan konflik tanah adat masih terjadi pemberlakuan hukum secara sepihak , baik hukum adat maupun hukum nasional dalam menyelesaikan suatu konflik pertanahan.
“Hakim-hakim di tiap-tiap daerah harus bijak dalam mengatasi sengketa tanah dan tidak bisa memenangkan kasus dengan hanya memakai satu hukum, apalagi menyelesaikan sengketa antara warga dengan pemerintah, †jelasnya
Seminar dan workshop internasional ini dilakukan selama empat hari di sekolah pasca sarjana UGM, juga membahas mengenai hasil riset tentang hukum pertanahan setelah 1998 yang dilaksanakan melalui program INDIRA-Indonesian-Netherlands Studies on Decentralisation of the Indonesian ‘Rechtsstaat’ and its impact on Agraria. (Humas UGM)