
UGM kembali menyelenggarakan program untuk mahasiswa internasional yang diberi nama DREaM. Pada penyelenggaraannya yang kesepuluh, program ini diikuti oleh 32 mahasiswa dari 10 negara, di antaranya dari Belgia, Jepang, Kamboja, Timor Leste, Ethiopia, dan Uganda.
DREaM 2018 yang diselenggarakan pada 18-31 Juli mengangkat tema “Reinventing Education in the Disruptive Era” yang menekankan pada pentingnya pendidikan dan keberadaannya di era disruptif.
“Era yang disebut sebagai revolusi industri 4.0 ini diwarnai dengan pemanfaatan big data, cyber-physical system, internet of things, yang itu merubah perilaku manusia zaman ini,” ucap Wakil Rektor UGM Bidang Kerja Sama dan Alumni, Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M.
Hal ini ia sampaikan dalam kuliah umum yang mengawali penyelenggaraan DREaM pada Kamis (19/7) di Gedung Pusat UGM. Melalui DREaM, mahasiswa dari seluruh dunia dapat lebih memahami isu-isu terkait disrupsi teknologi serta bagaimana implementasinya di tengah masyarakat.
Generasi muda saat ini, ujar Paripurna, adalah generasi yang lahir di era teknologi sudah cukup berkembang sehingga mereka pasti memiliki penguasaan teknologi yang lebih baik dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Oleh karena itu, merekalah yang dapat menjadi inisiator bagi solusi-solusi dalam mengembangkan pendidikan di dalam masyarakat dan menginspirasi orang lain untuk membuat masa depan yang lebih baik bagi generasi setelahnya.
“Kuncinya adalah dengan berpikiran lebih terbuka. Terima ide-ide yang disodorkan, lalu pikirkan itu semua maka kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik,” ucapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Presiden Finland University, Pasi Kaskinen, memberikan gambaran mengenai praktik-praktik yang dijalankan di Finlandia berkaitan dengan kebijakan membentuk pendidikan di era disruptif.
Finlandia selama ini memang dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan yang terbaik di dunia. Hal ini, ujarnya, didorong oleh pemahaman dari masyarakat bahwa pendidikan adalah hal yang penting dan sangat menentukan bagi kesuksesan sebuah negara.
“Negara harus melihat pendidikan sebagai sebuah investasi masa depan, bukan hanya sebagai sebuah beban,” tuturnya.
Pengertian ini, menurut Pasi, mendorong pelaku pendidikan di Finlandia untuk terus meningkatkan kualitas dan memperluas jangkauan, di antaranya dengan mengembangkan kuliah virtual serta melakukan kerja sama dengan mitra dari berbagai negara di dunia.
Era revolusi industri 4.0, menurutnya, menuntut adanya pendidikan 4.0 yang mampu melengkapi siswa dengan kompetensi serta kecakapan yang diperlukan dengan metode-metode yang juga inovatif dan berbasis teknologi.
“Cara terbaik untuk mencegah disrupsi agar tidak merusak adalah dengan menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang kreatif dan memiliki semangat kewirausahaan,” kata Pasi. (Humas UGM/Gloria)