Rezim anti pencucian uang merupakan masalah yang baru muncul di Indonesia dalam 10 tahun terakhir, dikarenakan adanya tekanan internasional dan domestik. Tekanan dari pihak internasional, berupa dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara-negara yang tidak “comply†dengan standar penegakan hukun tindak pidana pencucian uang dunia. Sedangkan dari domestik sendiri, berupa maraknya kasus korupsi, perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang yang mecapai 23,6 triliun pada tahun 2004, dan kasus illegal logging 2,83 juta hektar per tahun.
“Orang yang menyimpan uang dari hasil korupsi, bisa mentransfer uang dari suatu Negara ke Negara lain, tindak pidana ini sulit dilacak karena berpindah tempat dan berubah bentuk,†ujar Priyanto selaku Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang disampaikan dalam acara Workshop Keberadaan Rezim Anti Pencucian Uang di Indonesia, Selasa (19/6) di Ruang Seminar Fakultas Hukum UGM.
Akibatnya, kata Priyanto, tindak pidana ini sulit diselidiki dan diproses secara hukum, bahkan pihak internasional pun merasa kewalahan. “Penyelidikan oleh kepolisian dan kejaksaan memang bisa menangkap para pelaku, tapi tidak bisa mengungkap uang hasil korupsi dan pencucian uang tersebut,†paparnya.
Tambah Priyanto, banyak kasus yang terjadi di Indonesia, para pelaku yang sudah diproses secara hukum tapi hasil kejahatannya yang telah disimpan di Bank malah aman-aman saja sebab tidak bisa dilacak. “Sangat dimunginkan si pelaku bisa menggunakan uang tersebut untuk mengulangi kejahatannya ketika sudah keluar dari penjara,†ujarnya.
Kata Priyanto, selama ini tugas dari PPATK hanya menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan (PJK) seperti dari Bank, Asuransi, Perusahaan Sekuritas dan Lembaga Keuangan. “Data keuangan itu nantinya kita analisis, lalu disampaikan ke pihak kepolisian dan kejaksaan untuk diproses dan ditindaklanjuti,†tandasnya.
“Untuk itu diperlukan UU tersendiri untuk mengejar uang yang berasal dari tindak pidana korupsi dan money loundring, berupa tindakan dalam pengamanan asset, sehingga aset hasil kejahatan bisa dibekukan dan menjadi barang bukti di pengadilan,†ungkap Priyanto. (Humas UGM)