Pengelola Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran UGM, Dr. dr. Sunartini, SPA mengungkapkan bahwa Jumlah orang cacat akibat gempa di Bantul diperkirakan mencapai 1.500 orang. “Dari jumlah itu 300 di antaranya masuk dalam kategori cacat permanen; dan selebihnya masih dalam kategori cacat namun masih mampu bekerja meski harus diberi keterampilan khusus terlebih dahulu,†ujarnya dalam pelatihan kader kesehatan dan penyandang cacat yang dilakukan Prodi Ilmu Keperawatan (PSIK) Fakultas Kedokteran UGM, Rabu (20/6) di Kantor Kecamatan Pleret, Bantul.
Puluhan penyandang cacat yang diperiksa tampak bersemangat mengikuti tes kesehatan ini. Bahkan, jika diminta melakukan sesuatu seperti mengangkat tubuh dari kursi roda dengan dua tangan, mereka berusaha dengan sekuat tenaga. Mereka benar-benar berharap dapat lolos menjadi peserta pelatihan yang diharapkan dapat menjadi modal dalam mencari nafkah.
“Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya menjadi laki-laki, yang seharusnya menjadi penopang utama kehidupan keluarga, kini justru harus menjadi beban keluargaâ€
SUNARTO, 41, mengucapkan kalimat itu dengan nada rendah dan nyaris tidak terdengar. Meski tidak menangis, titik air bening di sudut-sudut matanya tidak bisa dia sembunyikan. Sebagai seorang suami tampaknya dia masih belum bisa menerima keadaan dengan lapang bahwa sekarang dia justru menjadi beban bagi istri dan keluarganya.
Warga Jejeran II, Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret, Bantul ini memang tidak salah jika mempunyai beban psikologis yang sedemikian berat. Gempa satu tahun lalu telah membuat dia lumpuh dan harus menggantungkan hidupnya di atas kursi roda. Akibatnya, tugas utama sebagai penopang ekonomi keluargapun tidak lagi bisa dia sandang.
Sebelum menjadi cacat, Sunarto sehari-hari bekerja sebagai penjual Siomai keliling. Tentu bukan pekerjaan ringan jika setiap hari bapak satu anak ini berjalan berkilo-kilometer untuk menjajakan dagangannya. Namun Sunarto memilih pekerjaan itu alih-alih harus duduk di atas kursi roda tanpa dapat berbuat apa-apa. “Sekarang saya hanya membantu istri yang membuat kue. Malu sekali rasanya justru menjadi beban istri saya,†katanya.
Suami Krismiyati, 35, ini mengaku tidak ada keinginan lain saat ini kecuali ingin segera bekerja dan mendapatkan nafkah. Dia tidak memperdulikan apapun jenis pekerjaan itu yang penting halal dan bisa dia lakukan dengan kondisi yang ada sekarang ini.
“Saya tidak akan kuat kalau terus-terusan begini. Persoalanya, lembaga mana yang mau menerima pekerja orang cacat,†katanya dengan nada bimbang.
Nasib yang lebih mengenaskan juga dirasakan Tugiyem, 51, warga Segoroyoso, Pleret, Bantul yang juga menjadi lumpuh akibat gempa 27 Mei 2006. Janda satu anak ini juga tidak bisa lagi bekerja di pabrik krupuk rambak yang sebelumnya menjadi tempat dia mencari rejeki.
“Sekarang saya hanya menggantungkan hidup dari belas kasihan orang yang memberi bantuan. Sementara anak saya yang baru lulus SMA juga belum bekerja,†kata Tugiyem.
Sunarto dan Tugiyem adalah dua dari puluhan penyandang cacat di Kecamatan Jetis dan Pleret yang ketika ditemui tengah mengikuti tes kesehatan. Tes ini nanti akan menjadi dasar untuk pemberian keterampilan yang cocok bagi mereka.
“Saya belum pernah melamar pekerjaan, karena sudah ragu terlebih dahulu apakah ada lembaga yang mau menerima. Untuk itulah saya memilih untuk ikut pelatihan ini,†kata Erna, salah seorang penyandang cacat.
Hampir semua penyandang cacat yang ditanya mengaku, bekerja adalah menjadi mimpi indah mereka. Hidup mandiri tanpa merepotkan orang lain bahkan kalau perlu membantu orang lain, adalah hal yang begitu indah bagi mereka. “Saya ingin bekerja dan mendapatkan nafkah untuk saya dan keluarga,†harap Sunarto.
“Ini baru proses assessment untuk melihat jenis keterampilan apa yang mereka bisa lakukan,†kata koordinator pelatihan keterampilan penyandang cacat korban gempa, Intan Fatah Kumara, sambil menambahkan bahwa program ini merupakan hasil kerjasama UGM dengan Japan International Corporations Agency (JICA).
Menurut Intan, pelatihan yang akan dilakukan sampai September nanti diharapkan akan diikuti 40an penyandang cacat. Namun hal itu akan tergantung proses assessment ini. “Jenis keterampilannya sendiri ada beberapa macam, seperti membuat emping melinjo, kerajinan dan sablon,†kata Intan. (Humas UGM)