Pengamat Sosial dari Erasmus University Rotterdam, Belanda, Prof. Dr. Ben White, menilai setiap pemerintah di seluruh dunia harus ikut campur tangan dalam mengatasi jumlah pemuda pengangguran yang terus meningkat karena adanya disrupsi ekonomi dan sempitnya akses lahan pertanian. “Pemerintah tidak bisa hanya menyerahkan semuanya ke pasar (kerja),” kata Ben White usai menjadi pembicara dalam konferensi internasional bertajuk Population and Social Policy in a Disrupted World di gedung University Club UGM, Senin (6/8). Acara diselenggarakan oleh PSKK UGM.
Ben menyebutkan jumlah tingkat pengangguran terbuka di kalangan pemuda jumlahnya mencapai dua hingga tiga kali lipat dibanding jumlah penduduk usia dewasa. Bahkan, pemuda yang bekerja di bawah garis kemiskinan jumlahnya lebih banyak pada kelompok orang dewasa. “Umumnya pengangguran paling banyak ada di desa dan lebih banyak kalangan perempuan,” katanya.
Ia berpendapat saat ini di seluruh dunia ada kecenderungan gelar pendidikan tidak lagi menjamin seseorang untuk mendapatkan pekerjaan. Sebaliknya, mereka memiliki koneksi dan keterampilan dalam berkomunikasi dan berperilaku justru akan mendapat pekerjaan. “Banyak negara memiliki kelebihan pasokan lulusan tapi tidak mendapatkan pekerjaan,” ujarnya.
Perubahan dahsyat dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi dengan munculnya disrupsi teknologi menyebabkan makin berkurangnya jumlah kesempatan kerja. Selain itu, tidak banyak pemuda memilih bekerja sebagai petani karena tidak adanya lahan yang bisa digarap di desa.”Bukan tidak mau bertani, namun syaratnya harus ada tanah yang bisa digarap, biasanya mereka migrasi dulu, lalu pulang,” katanya.
Ben tidak secara detail memberikan solusi dalam mengatasi persoalan pengangguran tersebut, namun ia menilai pemerintah bisa mengadopsi kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara di kawasan Eropa yaitu pemerintah menyubsidi pemuda selama mereka belum mendapat pekerjaan atau memberikan mereka pekerjaan yang ada penghasilannya. “Memberikan mereka pekerjaan yang barangkali tidak menarik bagi investor, namun negara bisa melibatkan puluhan ribu pemuda terlibat atau pekerjaan mengurusi orang lanjut usia, banyak sekali sebenarnya yang bisa dilakukan oleh negara,” katanya.
Pengamat Kependudukan dari Fisipol UGM, Prof. Muhadjir Darwin, menilai ada anomali terkait korelasi pertumbuhan ekonomi, jumlah penganguran dan pertambahan penduduk. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya pertumbuhan penduduk bisa ditekan dan jumlah pengangguran bisa dikurangi. “Yang terjadi di Indonesia pertumbuhan ekonomi tinggi, pertumbuhan penduduk tidak bisa ditekan dan anak muda pengangguran juga tumbuh,” katanya.
Antropolog FIB UGM, Dr. Pande Made Kutanegara, mengatakan perubahan dalam revolusi industri saat ini menyebabkan teori pembangunan yang selama ini dipakai menjadi semakin usang. Menurutnya, sudah saatnya para akademisi mencari teori pembangunan yang baru untuk menjawab persoalan riil di masyarakat. Negara juga harus berpikir keras merespons perubahan di bidang teknologi, persoalan sosial ekonomi dan membuat kebijakan untuk membuka ruang bagi generasi muda.”Pemerintah harus menyusun, memprediksi perkembangan situasi sosial dan ekonomi ke depan,”paparnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)