
Gerakan reformasi Indonesia yang usianya genap dua dekade pada 2018 ini telah menciptakan banyak harapan rakyat tentang perubahan fundamental tata kelola negeri ini.
Meski demikian, arus kebebasan yang telah lama dinantikan kini justru mewujud dalam euforia yang membawa ekstremitas sikap secara konkret. Fenomena ini diulas dalam Diskusi Forum Mangunwijaya yang diselenggarakan Rabu (15/8) di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
“Kata pluralisme yang menjadi bagian dari cerita kebanggaan identitas Indonesia justru menjadi alien dan mulai dipertanyakan keberadaannya. Orang bahkan mulai takut dan enggan membahasnya,” ucap Dekan FIB UGM, Dr. Wening Udasmoro.
Forum Mangunwijaya yang diselenggarakan FIB bersama Harian Kompas dan Yayasan Edukasi Dasar (DED) sejak tahun 2009 ini mengembangkan gagasan dan praktik humanisme dari Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Dalam diskusi kali ini, tema yang diambil adalah “(Anti) Pluralisme dan Pasang-Surut Kewargaan Pasca Reformasi”.
Dalam konteks hari ini, pembahasan mengenai pluralisme maupun ekstremisme tidak terlepas dari fenomena yang terjadi di ranah media daring. Keterbukaan yang tercipta untuk dinikmati semua warga, yang juga didukung oleh kemajuan teknologi informasi digital, membawa serta peluang untuk menyebarkan berita bohong, menyebarkan kebencian, dan menghadirkan pengaruh. Secara khusus, kebebasan berekspresi ternyata justru telah menimbulkan sikap eksklusif berbasis primordialisme.
Pembahasan seputar fenomena ini disampaikan oleh J. Haryatmoko, SJ, pengajar filsafat di Universitas Indonesia dan Universitas Sanata Dharma. Ia menyebutkan, situasi sosial politik di Indonesia akhir-akhir ini sedang diuji oleh dinamika gerak masyarakat yang cenderung anti-pluralitas.
Dinamika masyarakat ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan komunikasi digital, terutama dalam bentuk media sosial. Bentuk jurnalisme warga ini, ujarnya, sering disalahgunakan untuk menyebarkan hoax.
“Fenomena hoax yang masif menyeruak menyebar menghentak akal sehat masyarakat dan dunia politik. Di satu sisi, banyak orang dibuat skeptis terhadap kredibilitas media massa, namun di sisi lain hoax menunjukkan bahwa masyarakat justru mudah percaya pada beragam informasi media sosial,” ungkapnya.
Masyarakat, menurutnya, telah dikondisikan untuk mengabaikan verifikasi kebenaran. Kredibilitas berita, pesan, atau opini sering sudah tidak dipertanyakan lagi. Kebohongan menyelinap masuk dengan mudah melalui kebingungan orang dalam membedakan antara berita, opini, fakta, dan analisis. Akibatnya, di dalam masyarakat Indonesia yang sudah terpolarisasi oleh ideologi, ketegangan dan konflik semakin mudah dipicu.
“Mereka yang merancang, merekayasa, dan menyebarkan kebohongan lewat media sosial sadar atau tidak sadar sedang menghancurkan ruang publik yang pertaruhannya adalah penerimaan pluralitas. Padahal, menerima pluralitas adalah pilar kebinekaan,” jelasnya.
Fenomena ini ia sebut sebagai hal yang lumrah terjadi di era post-truth yang lebih mengutamakan emosi daripada rasionalitas dan objektivitas data. Untuk menghadapinya, diperlukan kritik diri, serta memberi waktu lebih pada bentuk komunikasi yang sering dilupakan yaitu mendengarkan perspektif pihak lain.
Ia juga menganggap perlu untuk memperkenalkan literasi media, terutama literasi komunikasi digital di sekolah agar anak didik memahami mekanisme, teknik, dan trik media sosial sehingga tidak mudah dimanipulasi.
“Mulai dari hal sederhana seperti waspada terhadap headlines karena dijadikan alat untuk memancing seseorang masuk ke dalam wacana yang menjebak. Telusurilah sumber berita apakah bisa dipercaya,” ucapnya. (Humas UGM/Gloria)