Melihat kebutuhan kayu saat ini, menuntut ketersediaan kayu cukup banyak di tanah air. Terhitung, industri kayu di Indonesia per tahun membutuhkan sekitar 60 m3.
Untuk memenuhinya, tentu tidak cukup hanya mengandalkan dari hasil hutan alam Indonesia. Terlebih laju deforestasi mencapai 1,8 juta heltare per tahun.
“Jika di tahun 2009 nanti pemerintah mengambil kebijakan penghentian pengambilan kayu dari hutan alam, berarti mau tak mau kebutuhan kayu akan dipenuhi dari hasil hutan tanaman,†ujar Dr Ir Sri Nugroho Marsoem M AgrSc, di Auditorium Fakultas Kehutanan UGM, Jum’at, (13/7).
Hal itu dikatakannya menjelang penyelenggaraan Internasional workshop Improvement Of Tropical Forest For Global Environment: Enchancement of CO2 Sink and Wood Production Through Genetic Improvement of Tropical Fast Growing Tree Species 2007. Turut mendampingi dua pembicara dari Jepang Prof Yuji Ide (Guru Besar Ekosistem Tokyo University) dan Prof Hiroyuki Yamamoto (Guru Besar Kehutanan Universitas Nagoya).
Jika harus diambil dari hasil hutan tanaman, kata Nugroho Marsoem, hutan mestinya bisa difungsikan secara optimal. Artinya perlu dicari jenis tanaman dengan faktor genetik unggul , cepat tumbuh dan memiliki kualitas baik.
Misalnya, pohon yang memiliki batang yang lurus pertumbuhannya dan tinggi kandungan C6H12O6 nya. Kandungan C6H12O6 ini dapat dilihat dari berat jenis (kerapatan) kayu yang dihasilkannya. Asumsinya semakin tinggi kandungan C6H12O6 suatu pohon semakin banyak CO2 yang diserap oleh pohon.
“Kalau hutan tanaman artinya apa? Sengon. Sengon kalau di Jawa sudah banyak. Petani juga begitu giat menanam Sengon. Kebetulan Sengon ini bagus untuk perbaikan tanah, daunnya juga bagus untuk para peternak, kayunya dalam 4-5 tahun bisa dipanen,†jelas Nugroho Marsoem.
Selain itu, menurut Nugroho Marsoem, pohon-pohon jenis itu mampu menahan erosi dan mampu menghasilkan ketersediaan air. “Nah targetnya kita segera kembalikan. Dan supaya hutan tidak tambah rusak, maka industri kayu diberi ketersediaan kayu dengan kayu-kayu fast growing semacam ini. Sengon misalnya, “ tandasnya.
Prof Yuji Ide menambahkan, hutan tanaman Indonesia sangat esensial. Tidak saja, karena hasil kayunya, namun juga dalam kaitannya dengan pemanasan global (global warming).
“Global warming sendiri telah berakibat pada hujan yang tidak menentu, kutub utara yang mencair. Oleh karena itu, hutan tropis di Indonesia yang jenis pohonnya banyak harus dijaga bersama-sama,†ujar Prof Yuji Ide.
Workshop digelar hasil kerjasama UGM dengan Tokyo University, Nagoya University, FFPRI Forest Tree Breeding Center, Sumitomo Forestry Co.Ltd dan PT Kutai Timber Indonesia. Focus workshop membahas usaha untuk meningkatkan produktivitas, kecepatan dan pencapaian kualitas pertumbuhan pohon melalui rekayasa genetik, sekaligus mengevaluasi efektivitas hutan tanaman untuk pengikatan CO2. Workshop dilaksanakan selama dua hari, 14 dan 15 Juli 2007 di Fakultas Kehutanan UGM dan Hutan Wanagama.
Selain dua pembicara dari Jepang, turut memberikan pandangan Boen M Poernama, Wahyudi Wardojo, Dr Ir Transtoto Handhadari SHA MSc, Kohich Yamada dan Heru Jhudiarto. (Humas UGM)