Sinergi lintas sektor adalah prasyarat sine qua non (tidak boleh tidak ada) dalam memfungsikan hutan sebagai pengurang risiko bencana. Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai unit lanskap merupakan arena dinamika berbagai program dan kegiatan berbagai sektor.
Hanya saja, banyak program dan kegiatannya kontradiktif yaitu memiliki visi dan tujuan yang berlawanan, namun terimplementasikan dalam kegiatan yang saling menegasikan. Contoh paling faktual kontrakdiksi antara upaya pemulihan Daerah Tangkapan Air (DTA) sebuah DAS oleh sektor kehutanan dengan upaya peningkatan produksi pangan melalui ekstensifikasi (legal maupun ilegal) sektor pertanian.
“Jagungisasi di Gorontalo, misalnya, menyebabkan booming penanaman jagung, hingga merambah ke areal dengan topografi yang tidak layak untuk tanaman semusim. Akibatnya erosi dan sedimentasi yang luar biasa,” ujar Dr. Ir. Ida Bagus Putera Parthama, M.Sc, Dirjen Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, Kementerian LHK, pada Seminar Nasional Membangun Hutan Sebagai Ekosistem Unggul Berbasis DAS: Jaminan Produksi, Pelestarian dan Kesejahteraan, di UC UGM, Kamis (23/8).
Fakta lain, rehabilitasi hutan di hulu Citarum, ketika tanaman rehabilitasi dipandang sebagai pengganggu oleh petani sayur-mayur yang menguasai hutan lindung sehingga sulit berhasil. Juga sederet panjang situasi serupa di berbagai tempat lain.
Untuk situasi seperti ini, kata Ida Bagus, kompromi antar sektor adalah prasyarat penentu keberhasilan menempatkan hutan sebagai pengurang risiko bencana. Koordinasi dengan PUPR menjadi amat penting, khususnya dalam upaya efektifitas sumberdaya (dana).
Dalam pemantapan peran ekosistem hutan, kata Ida Bagus, juga harus dikaitkan dengan peran strategisnya dalam pembangunan wilayah sehingga kemanfaatan holistiknya dirasakan banyak pihak, dan berujung pada dukungan terhadap upaya tersebut. Pendekatan lanskap berbasis DAS sesungguhnya mampu menempatkan peran ekosistem hutan tidak hanya untuk pengurangan risiko bencana, namun juga sebagai setting sosial ekonomi dan pembangunan wilayah.
“Kalkulasi Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di tahun 2016 menunjukkan hutan mampu menyimpan air lebih besar dari waduk Gajah Mungkur, Wonogiri. Data tersebut melegitimasi rehabilitasi hutan sebagai program penting infrastruktur sumber daya air,” katanya.
Seminar Nasional Membangun Hutan Sebagai Ekosistem Unggul Berbasis DAS: Jaminan Produksi, Pelestarian dan Kesejahteraan digelar dalam rangka purna tugas Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono. Seminar nasional hasil kerja sama Fakultas Kehutanan UGM dan Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung, Kementerian LHK, ini menghadirkan sejumlah pembicara, diantaranya Dr. Ir. Hilman Nugroho, M.P, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Ir. Wiratno, M.Sc, Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem dan Ir. Nazir Foead, M.Sc, Kepala Badan Restorasi Gambut.
Dekan Fakultas Kehutanan, Dr. Budiadi, S.Hut.,M.Agr.Sc., mengatakan ekosistem unggul merupakan salah satu buah pemikiran Prof. Djoko Marsono dalam bidang ekologi hutan. Buah pemikiran tersebut memilki peran penting dalam konservasi sumber daya alam di Indonesia.
“Pemikiran ekosistem unggul merupakan kritik atas berbagai praktik pengelolaan hutan yang banyak melakukan penyederhanaan atas kompleksitas dalam ekosistem hutan,” katanya.
Menurut Budiadi, ekosistem unggul bukan hanya rekognisi terhadap kompleksitas, namun pengelolaan harus berbasiskan atas pemahaman ekosistem di setiap kawasan adalah unik, termasuk diantaranya berbasis DAS. Untuk itu, seminar diharapkan mampu menghasilkan penanjaman-penajaman terhadap kerangka implementasi dan penetapan kriteria serta indikator atas hutan sebagai ekosistem unggul dengan berbagai kompleksitasnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Djoko Marsono dalam orasi purna tugasnya mengungkapkan dalam ekosistem unggul maka dapat dibangun ekosistem (hutan) dengan jenis (komoditi) yang dikembangkan berdasarkan kondisi fisiknya, berbasis ekosistem dan masyarakat bisa mendapat manfaat sebesar-besarnya, namun pelestarian hutan terjamin. Ekosistem pada prinsipnya bukan hanya struktur hutan yang mengikuti kaidah ekosistem, namun proses ekologis di dalamnya bisa berjalan kembali.
“Setiap komponen ekosistem dikembangkan untuk bisa menjalankan fungsinya termasuk diantaranya pohon, tumbuhan bawah, flora fauna dan lain-lain,” ungkapnya.
Sayangnya, dewasa ini minat kajian peran satwa/fauna serta komponen lain terhadap ekosistem masih sangat rendah sehingga banyak ketimpangan dalam proses ekologis. Contoh nyata, di pertanian terjadi ledakan hama tertentu disebabkan rantai makanan dalam ekosistem tersebut terputus.
“Sudah saatnya disadari tidak ada komponen yang berdiri sendiri dalam setiap ekosistem. Oleh karena itu, masih sangat terbuka peluang untuk mengembangkannya. Demikian juga mindset hasil hutan adalah tangible benefit perlu segera diubah secara proporsional melalui kajian valuasi ekonomi yang akurat,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)