Yogya, KU
Berawal dari ide dosen Fakultas Teknik sipil UGM, Ir Kardioyono Tjokrodimuljo, ME yang menemukan ide memanfaatkan bantak (batuan kerikil dari limbah Merapi) sebagai salah satu bahan untuk membuat beton non pasir. Potensi batuan ini sangat besar, selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat Dusun kemiri yang berada di sekitar aliran sungai Boyong.
“Banyak sisa pasir yang ada di sungai Boyong. Selama ini yang diambil pasirnya, kerikilnya dibiarkan saja di sungai. Lama-lama sungainya penuh dengan bebatuan,†ujar Kardioyono yang akrab dipanggil Kardi bersama dengan Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Riset Fakultas Teknik UGM Ir Hari Sulistiyo, SU, Ph.D meninjau langsung kegiatan Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKN PPM), Kamis, (12/7) di Dusun Kemiri, kelurahan Purwobinangun, Sleman.
Menurut Kardi, dalam sehari sungai Boyong ini mampu diangkut 800 truk pasir, sewaktu pasirnya diambil maka akan menyisakan jumlah bantak yang sama banyaknya. Kegiatan ini sudah dilakukan selama 10 tahun.
Setelah Gunung Merapi meletus, jumlah bantak pun semakin bertambah. Ini karunia Tuhan, semakin sering meletus, maka akan semakin bertambah,†kata kepala Laboratorium Bahan Bangunan Fakultas Teknik UGM.
Belajar dari Literatur
Menurut Pak Kardi, dari literatur yang ia pelajari, di Negara Inggris sesudah Perang Dunia I banyak bangunan yang hancur, sehingga untuk membuat bangunan yang baru dalam waktu yang cepat, maka dipakai beton tanpa pasir.
“Di Inggris, Perancis dan Jerman sudah biasa, tapi di Indonesia belum biasa atau belum diajarkan,†katanya.
“Lalu, bantak ini saya teliti dan dipraktekkkan di laboratorium, oh ternyata betul, lalu ada alumni UGM yang datang waktu itu, saya pamerkan hasil penelitian ini, terus saya ditanya, ini sudah diterapkan dimana pak?wah saya nggak bisa menjawab,†jelasnya.
Begitu ada kegiatan KKN, pada tahun 2001. Pak kardi mengikutsertakan hasil penelitiannya ini sebagai salah satu tema kegiatan KKN PPM UGM. Saat itu kata Pak Kardi, masyarakat di daerah Dusun Kemiri belum banyak yang percaya bahwa bantak bisa dijadikan beton tanpa pasir. “Ah masa bisa tanpa pasir jadi beton, lalu dicoba disini untuk dijadikan bata, karena ditemukan di UGM maka kita sebutkan namanya batagama, maksudnya buatan Universitas Gadjah Mada,†tutur Kardi.
“Kalo diklasifikasikan bantak ini merupakan batu kelas dua. Seperti untuk jembatan layang memang perlu batu kelas satu, tapi untuk rumah bertingkat satu atau dua maka batuan ini layak dipakai. Sedangkan untuk gedung tinggi kita masih coba-coba,†ujarnya.
Menjadi Perintis
Masyarakat Dusun kemiri yang terdiri 450 KK ini oleh Kardi diajarkan membuat Batagama, namun di tangan Poniman (37), bantak sudah dikembangkan menjadi kursi taman, pot bunga, sehingga tahun 2005Pak Poniman ini mendapat piagam dari Bupati Sleman dalam hal kreatifitas pemanfaatan Bantak (limbah Merapi).
Munculnya ide ini kata Poniman, dirinya mencoba membuat bantak yang berukuran 2 cm dibuat bata, ukuran 1 centi dibuat untuk meja, 0,5 centi untuk pot bunga.
“Saya mulai sejak tahun 2005, saya kembangkan pelan-pelan, karena dari segi pemasaran masih belum lancar makanya teman-teman (penduduk) dusun kemiri juga belum melirik dan berminat ke usaha ini, apalgi lagi dari segi modal saja jelas kita masih kurang,†keluh Poniman.
Sementara ini, Poniman masih mengandalkan kursi taman dan pot-pot saja yang menurutnya bisa laku di pasaran. “Pesanan dating dari Bantul bahkan dari luar derah seperti Magelang,†tutur pria yang merelakan lahan salaknya sebagai showroom.
Demi memperkenalkan produk-produknya, Poniman ini harus pindah dari satu pameran ke pameran lainnya, “Saat ini harga pot bunga berkisar antara 5 ribu, 15 sampai 20 ribu. Sedangkan untuk kursi taman 350 sampai 400 ribu, tinggal tambah motif atau tidak,†kata bapak dua anak ini.
Ketika ditanyai proses pembuatan kerajinan kerikil ini, Poniman pun tidak keberatan menjawabnya. “ Kita cari sendiri batuan ke sungai lalu kita angkut dan bawa pulang, di rumah, batuan ini kita ayak untuk diambil yang ukuran kerikil 2 centi dan setengah centi. Untuk satu truk itu sampai tiga kali ayak,†jelas Poniman yang sudah 3 tahun menjadi pengrajin kerikil ini.
Kerajinan kerikil yang berasal dari limbah Merapi ini memang belum dikenal luas oleh masyarakat, sehingga Poniman berharap kepada mahasiswa KKN PPM UGM untuk bersedia membantu mencari jalan keluarnya, agar usaha yang dilakoninya bisa berkembang dan diikuti teman-temannya, “Mahasiswa KKN ini sudah mencarikan jalan keluar, saat ini mereka sudah mencarikan link dan akan membangun showroom di selatan dusun Kemiri,†aku Poniman (Humas UGM)