Departemen Sosial Ekonomi Pertanian UGM menyelenggarakan Seminar Hasil-hasil Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Ke-VII pada 25-26 Agustus kemarin. Tema yang diangkat kali ini adalah ‘Peran Sumber Daya Pembangunan Pertanian Berkelanjutan’. Acara ini terbagi menjadi dua sesi, yakni pemaparan materi oleh pembicara utama dan presentasi makalah hasil penelitian secara pararel di kelas-kelas.
Pada pemaparan materi yang diselenggarakan hari Minggu pagi (25/8) di Auditorium Prof. Harjono Danoesastro, Fakultas Pertanian UGM, pembicara menjelaskan tentang pertanian dalam era Revolusi Industri (RI) 4.0.
Menteri Sekretaris Negara, Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., sebagai keynote speaker, menerangkan kemungkinan pertanian menjadi sektor yang paling terpengaruh distrupsi di era RI 4.0. Ia mengungkapkan bahwa hampir setengah dari petani di dunia kehilangan pekerjaanya karena RI 4.0 ini.
“Hal itu terjadi bukan karena produksi pertanian tidak lagi dibutuhkan, melainkan tenaga mereka telah digantikan,” tuturnya.
Tuntutan dari era saat ini, menurut Pratikno, adalah kecepatan dan kreatifitas. Faktor-faktor seperti lahan, tenaga kerja, dan kekayaan hayati tidak lagi menjadi yang utama. “Digitalisasi, bioteknologi, dan efektivitas proses menjadi kunci dari revolusi agrikultur dalam era ini,” ujarnya.
Akan tetapi, Pratikno menuturkan bahwa revolusi agrikultur tadi terjadi dominan di benua Eropa. Menurutnya, faktor yang mendorong hal itu adalah bencana demografi, yakni jumlah penduduk dengan usia produktif lebih sedikit dibanding penduduk usia non-produktif.
Sebaliknya, ia menuturkan bahwa Indonesia mengalami bonus demografi. Oleh karena itu, revolusi tadi belum terlalu dirasakan di Indonesia. “Pertanian tradisional masih banyak ditemui di berbagai wilayah Indonesia,” sebutnya.
Pratikno kemudian merumuskan bahwa permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah akses menuju teknologi dan bahan yang berkualitas. “Teknologi sudah ada di Indonesia, tapi para petani di daerah tidak memiliki akses ke sana,” ungkapnya.
Hal itu terjadi, jelas Pratikno, akibat kondisi sosio ekonomi masyarakat Indonesia yang plural. Ia mengungkapkan bahwa ketimpangan kelas sosial di Indonesia terlampau tinggi. “Makanya, isunya disini bukan lagi availability, melainkan accessability,” tegasnya.
Pratikno menerangkan bahwa sesuatu yang diperlukan Indonesia adalah mendorong petani lokal agar lebih mandiri untuk memenuhi kebutuhannya. Ia kemudian menunjuk para peserta di auditorium ketika menyebutkan siapa yang berperan dalam mensosialisasikan hal itu.
“Tugas Fakultas Pertanian adalah menjadi garda depan yang menerima dan memproses dampak RI 4.0, sekaligus nantinya berperan untuk mendistribusikannya kepada para petani di daerah-daerah,” tutupnya. (Humas UGM/Hakam)