Diskusi bulanan Center for Digital Society (CfDS) FISIPOL bertajuk Digitalk kembali hadir membahas isu-isu yang berkaitan dengan tren, praktik, dan permasalahan masyarakat digital di Indonesia dan dunia. Digitalk ke-20 yang diselenggarakan Rabu (29/8) menghadirkan dua figur populer di jejaring media sosial untuk mengulas soal pembentukan citra diri di era digital.
Wicaksono, mantan wartawan yang kini lebih populer di dunia maya sebagai “Ndoro Kakung”, menyebut citra diri berada pada wilayah tengah antara bagaimana kita melihat diri sendiri serta bagaimana orang melihat diri kita.
Di era digital saat citra seseorang terbentuk melalui apa yang mereka tampilkan di dunia maya, pencitraan diri melalui media sosial menjadi hal yang sangat penting dan perlu menjadi perhatian.
“Personal branding itu penting karena bisa memberikan banyak manfaat bagi kita. Selain meningkatkan kepercayaan diri, hal ini juga bisa meningkatkan kredibilitas kita. Kita bisa saja dikritik, tapi kalau branding-nya kuat maka kredibilitasnya juga tetap kuat,” jelasnya.
Meski demikian, ia mengakui bahwa membentuk citra diri pada era saat ini bukanlah hal yang mudah, terlebih jika ingin mencari popularitas. Untuk menjadi populer, seseorang menurutnya harus bisa membangun citra yang otentik serta konsisten dalam hal itu. Otentisitas atau keunikan inilah yang bisa menjadi pembeda antara seseorang dengan kompetitornya sehingga ia dapat menarik khalayak sasaran dengan mudah.
“Kenapa bisa satu pengacara atau dokter bisa lebih tenar dari yang lainnya? Apakah karena mereka lebih pintar? Ada yang bisa lebih terkenal karena citranya beda,” katanya.
Ia menyebutkan 7 aspek yang dapat membentuk citra diri yang kuat. Selain otentisitas dan konsistensi, narasi, keahlian, visibility, value proposition, serta jejaring menjadi faktor pendukung yang tak kalah penting.
“Kalau kita jarang posting, jarang berinteraksi, bagaimana bisa dikenal. Jadi harus ada frekuensi, ada visibility. Membangun citra yang kuat akan membuat audiens dengan mudah mengenali kita melalui nilai positif yang kita bangun,” pungkasnya.
Dalam kesempatan yang sama, pemimpin redaksi mojok.co, Agus Mulyadi, mengisahkan bagaimana ia memperoleh popularitas melalui citra diri yang terbentuk tanpa disengaja. Jauh sebelum ia dikenal sebagai seorang penulis, ia lebih dulu dikenal melalui kemampuannya dalam mengedit foto pelanggannya bersama sosok artis terkenal.
“Saya tidak pernah mencitrakan diri saya sebagai tukang edit foto, tapi ketika foto edit-an saya itu viral, citra itu jadi melekat pada saya,” tutur pria yang kerap disapa Gusmul ini.
Ia baru merasakan pentingnya pembangunan citra diri ketika ia berusaha untuk menggantikan citranya sebagai tukang edit foto menjadi citra sebagai seorang penulis. Kala itu, ia memang telah menerbitkan beberapa buku yang isinya diambil dari kisah-kisah yang ia unggah di blog miliknya.
Dari pengalaman ini, ia memahami bahwa diferensiasi serta konsistensi menjadi hal yang penting. Untuk itu, ia menyarankan kepada para pengguna media sosial untuk bisa membentuk citra yang unik dan melakukannya secara konsisten karena hal itu tidak dapat terbangun dalam waktu yang singkat.
“Butuh waktu sekitar 2 tahun bagi saya untuk membentuk citra itu. Memang tidak mudah, jadi konsistensi itu penting,” ucapnya. (Humas UGM/Gloria)