
“Apakah kebangkitan Cina menjadi sebuah solusi atau permasalahan Indonesia ?” tanya Imron Cotan, MA., Duta Besar Indonesia untuk Cina, membuka diskusi pada Kamis (30/8) di Digilib Café, FISIPOL UGM.
Diskusi yang berjudul serupa, yakni ‘Menghadapi Kebangkitan Cina’ ini diselenggarakan oleh Institute of International Studies yang berada di bawah naungan langsung Departemen Ilmu Hubungan Internasional (DIHI) UGM. Tujuannya untuk menganalisis dampak penguatan posisi Cina di politik Internasional terhadap berbagai sektor di Indonesia.
Imron melanjutkan paparannya dengan gambaran bahwa banyak negara di dunia yang menganut Washington Consensus. Kebijakan yang dicetuskan oleh ekonom John Williamson di tahun 1989, sebagai solusi penyelesaian krisis ekonomi di Amerika Latin pada dekade yang sama. “Inti dari kebijakan ini adalah menyerahkan diri pada pasar,” ujar Imron.
Akan tetapi, ia mengungkapkan bahwa Cina juga memiliki kebijakan serupa dengan nama Beijing Consensus. Dua poin utamanya adalah state defend economy dan consensus. Sementara targetnya, sebut Imron, adalah menciptakan stabilitas, kesatuan, serta kesadaran musyawarah dalam negara Cina.
“Pemain utamanya adalah BUMN Cina. Intinya dalah perekomian untuk kesejahteraan seluruh rakyat Cina,” ujarnya
Sementara itu, menurut Imron, Indonesia memiliki cangkang Washington Consensus, tetapi identitasnya adalah Beijing Consensus. Hal itu disimpulkannya ketika melihat kebijakan perokonomian Indonesia yang menyerahkan diri pada pasar, padahal di sisi lain memiliki landasan Pancasila.
“Beijing Consensus bisa dibilang identik dengan Pancasila. Hal itu bisa dilihat dalam sila-sila Pancasila yang menekankan akan kesatuan, musyawarah, serta keadilan sosial. Jika saja Indonesia benar-benar menjalankan Pancasila-nya, mungkin saja Indonesia bisa sejajar dengan Cina dalam pencapainnya,” paparnya.
Hal itu ditanggapi oleh Dr. Nur Rahmat Yuliantoro, Ketua DIHI UGM. Menurutnya, kebijakan Cina seperti Beijing Consensus memiliki kelemahan sekaligus kekuatan tersendiri. “Pencapaian Cina yang besar itu menjadi kecil karena harus dibagi ke seluruh penduduknya. Sebaliknya, permasalahan kecil di Cina akan menjadi besar karena masalah tersebut dikali dengan jumlah penduduknya,” jelasnya.
Rahmat mengungkapkan hal yang bisa dipelajari Indonesia dari Cina adalah mengenai penanganan terhadap korupsinya. “Operation fox hunting yang dilakukan Cina, bisa memburu para koruptor di luar negeri dengan memanfaatkan hubungan politik luar negerinya,” ujarnya.
Hal lain dijabarkan oleh Hikmah Akbar MA., Dosen HI Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta. Ia menyatakan bahwa diaspora Cina di negara-negara lain di dunia juga bisa dipelajari Indonesia.
“Indonesia seperti Cina yang memiliki diaspora penduduk di belahan dunia lain, ambil saja contoh di Suriname, walaupun jumlahnya tidak sebesar Cina. Oleh karenanya, Indonesia juga perlu mengembangkan integrasi antara pemerintah pusat di Indonesia dengan daerah diasporanya memanfaatkan politik luar negerinya,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)