“Ilmu sosial sekarang masih dimarjinalkan,” tegas Drs. Muhadi Sugiono, MA., peneliti Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM.
Hal itu dituturkan Muhadi pada jumpa pers yang diselenggarakan PSSAT pada Senin (3/9) di ruang Forum Wartawan Kampus Gadjah Mada (FORTAKGAMA). Ucapan tersebut, sekaligus menjadi latar belakang International Symposium on Social Science 2018 yang akan diselenggarakan pada 4-5 September mendatang.
Muhadi melanjutkan bahwa pemarjinalan ilmu sosial karena dianggap sebagai duri bagi pengambilan kebijakan pemerintah. Hal itu seperti yang terjadi di Jepang, yakni ilmu sosial sedikit demi sedikit dihapuskan karena terlalu banyak memberi kritik yang berbeda satu sama lain.
Namun, menurut Muhadi, kritik yang beragam itu justru menjadi sesuatu yang bagus karena beragam kritik tadi memberi ruang dialektika bagi masyarakat agar lebih memahami apa yang terjadi di negara.
Sementara itu, Muhadi mengungkapkan bahwa Indonesia juga sedang terjadi pengurangan besar-besaran ilmu sosial di perguruan tinggi. “Bahkan, sudah ada rencana moratorium dari pemerintah,” ujarnya.
Muhadi menuturkan ilmu sosial adalah jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Ia menyatakan bahwa selama ini ilmu sosial yang berperan dalam membantu merumuskan kebijakan yang akan diterapkan dengan melakukan penelitian dengan objek yang merupakan sasaran dari pemerintah.
“Hal sebaliknya juga terjadi ketika ilmuwan sosial meneliti kebijakan pemerintah sebagai kritik dan pengawasan. Kemudian, hasilnya bisa dibaca masyarakat luas sehingga mereka memahami apa yang dilakukan pemerintah,” terangnya.
Dr. Phil. Hermin Indah Wahyuni, S.IP., M.Si., Kepala PSSAT, juga menerangkan bahwa permasalahan lain ilmu sosial adalah lahirnya era globalisasi yang transformatif dan distruptif seperti sekarang ini.
“Keynote dalam simposium besok, Anthony Giddens, yang juga seorang ilmuwan sosial menyebutkan bahwa ilmu sosial sekarang menghadapi permasalahan yang belum pernah dihadapi pada abad-abad sebelumnya,” ujarnya.
Hermin mengungkapkan bahwa ilmu sosial mulai berkembang pesat pada abad ke-18, beriringan dengan munculnya negara kesejahteraan di dunia. Lalu, menurutnya, sekarang ini ketika teknologi informasi yang semakin berkembang menyebabkan banyak masalah baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
“Hal itu menjadi tantangan baru bagi ilmu sosial yang memaksanya untuk berbenah diri,” tuturnya.
Melalui simposium ini, Hermin menuturkan bahwa PSSAT ingin merevitalisasi ilmu sosial. PSSAT mengangkat tema “Social Science in the Age of Transformation and Distruption: It’s Relevance, Role, and Challenge”, dengan harapan untuk mendorong ilmu sosial agar lebih berkontribusi terhadap kehidupan manusia di dunia.
“Kita mulai dari UGM yang kajian ilmu sosialnya terbilang kuat. Hal itu terbukti dengan enam fakultasnya yang termasuk dalam ranah ilmu sosial. Selain itu, juga alumni-alumni fakultas tersebut yang sudah banyak dikenal di Indonesia,” ujarnya.
Hermin mengungkapkan bahwa hal ini sudah menjadi kewajiban dari PSSAT. “Sebagai pusat kajian ilmu sosial Asia Tenggara, sudah selayaknya tugas untuk merevitalisasi ilmu sosial ini kami lakukan,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam;foto: Firsto)