
Lalu Fikri (42) tengah asyik bersantai bersama istri dan ketiga anak laki-lakinya. Nampak tiga anak kecil yang sebaya dengan anak bungsunya tengah bermain sambil membaca buku di bawah naungan rumah hunian sementara yang dibangun oleh tim mahasiswa UGM. Meski bangunan tersebut belum sempurna karena belum dipasang dinding, namun setidaknya bangunan tersebut menjadi penanda bagi Lalu Fikri sebagai tempat tinggalnya karena rumahnya sudah rata dengan tanah dan bahkan hanya bersisa sebagian tembok dapur dan kamar mandi.
Sambil duduk lesehan beralaskan bekas lantai marmer ruang dapur rumahnya, Lalu Fikri hanya bisa memandang reruntuhan bekas tembok rumahnya yang masih menumpuk. “Saya ingin sekali membersihkan sisa-sisa puing, biar nampak bersih dan saya bisa segera membangun, ” katanya sambil menghela nafas panjang.
Hampir seluruh rumah di dusung Karang Pansor mengalami hal serupa dengan Fikri karena bekas bangunan rumah yang dirobohkan masih menumpuk di lokasi tanah milik mereka masing-masing. “Saya berharap pemerintah kirim mobil membantu membersihkan puing-puing ini,”katanya memelas.
Fikri menuturkan ia berkeinginan membangun rumahnya secara perlahan. Namun, situasi tidak memungkinkan. Selama ini ia hanya tinggal di pengungsian yang berada di atas bukit yang berjarak 2 kilometer dari rumahnya. Bila malam menjelang ia kembali menuju bukit lalu pagi hari pulang menengok rumahnya.
Bapak tiga anak yang sehari-hari bekerja sebagai juru parkir ke pelabuhan penyeberangan menuju Gili Trawangan ini masih teringat jelas peristiwa gempa yang terjadi pada akhir bulan Juli lalu yang mampu merobohkan rumahnya tersebut. Saat itu ia baru pulang kerja dan hendak melepas lelah sambil tiduran di kamar. Sementara istri dan anak bungsunya yang berumur 5 tahun tengah mengikuti pengajian ibu-ibu yang berlangsung di rumah tetangga. Saat gempa pertama terjadi ia masih santai saja. Namun, disusul gempa selanjutnya yang jauh lebih besar hanya berselang beberapa menit, Fikri langsung bergegas menuju luar rumah untuk menyelamatkan diri sambil mencari istri dan anak bungsunya. Tidak hanya Fikri, para tetanggangganya pun sudah berkerumun di luar rumah. Situasi langsung gelap gulita karena listrik padam. Gempa kedua ini telah merobohkan tembok rumah Fikri.
Bukan hanya rumah, gempa dahsyat ini mampu merobohkan masjid yang berjarak kurang dari 10 meter dari rumah Fikri. Tiga orang yang diketahui meninggal saat beribadah di dalam masjid tersebut. Seorang balita, anak tetangga sebelah rumah Fikri meninggal dunia di malam itu. “Mereka yang meninggal dan terhimpit bangunan, belum sempat kita bawa karena kita langsung mengungsi ke atas bukit, takut air laut meluap (tsunami),”kenang Fikri yang rumahnya hanya berjarak 300 meter dari pelabuhan.
Fikri masih ingat betul bagaimana ia dan istrinya bersama dengan seluruh warga kampung malam itu beramai-ramai berjalan dua hingga kilometer mendaki bukit. “Kita tidak membawa apa-apa hanya pakaian yang melekat di badan,”ujarnya.
Malam itu, kata Fikri, seluruh warga kampung Bangsal mengungsi di atas bukit sambil memandang dari kejauhan sambil berharap tsunami tidak datang untuk merendam kampung mereka. “Saya hanya bilang kalau sinar lampu sudah tidak nampak lagi, berarti sudah terendam,” kata Fikri menirukan ucapan tersebut kepada istrinya seraya menggendong anaknya yang tertidur di pangkuan.
Beruntung, bencana tsunami yang dikhawatirkan seluruh warga Bangsal tidak terjadi. Namun, malam itu seluruh warga memilih berlindung di atas bukit. Hingga esok paginya mereka berani pulang ke rumah sambil mengurusi korban meninggal yang belum sempat dievakuasi.
Agus Riyanto (27) warga dusun Karang Petak menuturkan ia masih berada di kantor pelabuhan di saat malam kejadian tersebut. Sebagai tukang jaga malam, kata Agus, kebetulan ia sendiri yang berada di kantor karena dua rekannya tengah membeli nasi bungkus di warung. Sesaat sesudah gempa, rumah-rumah di sekitar pantai roboh, Agus langsung berlari kencang pulang menuju rumahnya yang berjarak kurang dari setengah kilometer. Ia ingat anaknya yang berumur empat tahun hanya sendirian di rumah. Di sepanjang jalan ia menyaksikan orang-orang menggandalkan cahaya dari lampu ponsel mancari anggota keluarga masing-masing di antara reruntuhan. “Saya membayangkan anak saya yang sendiri di rumah,” kata Agus yang mengaku panik bahkan menangis ketika berlari di jalan yang begitu gelap.
Sambil berdoa di dalam hati, kata Agus, ia berharap anaknya selamat. Ia pun berlari sekuat-kuatnya sambil menyisir bekas reruntuhan yang menutupi sebagian jalan menuju rumahnya. Tuhan mengabulkan doanya, dari kejauhan Agus menyaksikan anaknya tengah dipeluk oleh oleh kakak dan ibunya di depan rumah. “Akhirnya saya lega, anak saya masih hidup,’’kenang Agus.
Agus mengaku bersyukur jika seluruh keluarganya bisa selamat dalam bencana gempa bumi. Begitu pun sang istri yang tengah bekerja di sebuah hotel di pulau Gili Terawangan di malam itu mengabarkan ia selamat. “Saya tanya istri, apa airnya naik, dia bilang normal saja, tapi di kampung semua warga mengungsi ke bukit,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)